Jumat, 04 April 2014

tuna grahita



MAKALAH
TUNA GRAHITA
Sebagai Tugas Mata Kuliah
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)

Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
Bagus Panuntun        (A510110215)
Wati Ningrum           (A510110209)
Aditya Wardana       (A510120212)
Zuli Isnawati              (A510120209)
Selvameidha Q.P       (A510120204)
Wiwik Ekowati          (A510120215)

PROGRAM S-1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kenyataan mengenai anak-anak luar biasa yang jumlahnya semakin banyak di dunia kita ini, pertama kali dilihat oleh Nancy Ann Tappe yang menciptakan istilah deskriptif ini dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1982 “ Understanding Your Life Through Color”. Banyak pula klasifikasi kelainan bagi anak luar biasa atau sekarang lebih dikenal dengan Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ). Salah satu tipe anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan IQ ( kecerdasan intelektual ) rendah atau terkenal dengan sebutan Down Syndrom.
Down Syndrom atau Tuna Grahita adalah suatu gangguan fungsi intelektual di bawah rata – rata dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum seseorang berumur 18 tahun. Saat ini kategori anak Tuna Grahita atau lemah otak semakin berkembang jumlahnya. Hal inilah yang menjadi suatu permasalahan tersendiri bagi para ortopedagog serta orang tua penderita yang memiliki anak Tuna Grahita. Untuk itu telah banyak penelitian dan aktivitas yang dilakukan para ahli untuk mengetahui seluk beluk mengenai anak penyandang Tuna Grahita ini.
Karakteristik anak tuna grahita yang mudah bosan dan kurang mampunya untuk menyimpan long term memori, sehingga perlu adanya sistem pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Konsep teori belajar sambil bermain dirasa dapat memberikan hasil yang optimal bagi anak tunagrahita. Pada teori ini, juga dipilih permainan yang dapat melatih kemampuan motorik kasar, motorik halus, melatih emosi, pengenalan warna dan bentuk bagi anak tuna grahita. Salah satu jenis permainan itu, yaitu meronce. Meronce merupakan jenis permainan yang menarik bagi siswa, selain itu bermanfaat besar bagi anak- anak penyandang ketunagrahitaan.






B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana definisi anak tuna grahita?
2.      Bagaimana ciri-ciri sera karakteristik anak tuna grahita?
3.      Bagaimana tingkatan kecerdasan anak tuna grahita?
4.      Bagaimana Pembelajaran bagi anak tuna grahita di sekolah inklusi?
5.      Bagaimana Asas pengajaran bagi anak tuna grahita?
6.      Apa penyebab Anak Tuna Grahita?
7.      Bagaiamana Pencegahan anak Tuna Grahita?
8.      Bagaimana penanganan terhadap Anak tuna grahita?


C.    Tujuan                                                          
1.      Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tuna Grahita.
2.      Mengetahui pengertian dan ciri-ciri tuna grahita.
3.      Mengetahui bagaimana penerapan konsep belajar sambil bermain bagi anak tuna grahita.
4.     Mengetahui bagaimana penerapan keterampilan meronce dan manfaatnya bagi anak tuna grahita.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Definisi Tuna Grahita
Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan asing digunakan istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency, mental defective, dll. Sedangkan menurut Tredgold th. 1937 (dalam Smile et.all., 2002:47) menyatakan bahwa individu dianggap tunagrahita ditandai oleh perkembangan mental yang tidak sempurna dengan bermacam-macam tingkatan tidak mampu beradaptasi dengan lingkungan normal dan membutuhkan perawatan, supervisi, dan kontrol.
Menurut Edgare Dole (1941) seseorang dianggap cacat mental jiak ditandai: 1. Tidak berkemampuan secara sosial dan tidak mampu mengelola dirinya sampai tingkat dewasa; 2. Mental di bawah normal; 3. Terlambat kecerdasannya sejak lahir; 4. Terlambat tingkat kemasakannya; 5. Akibat pembawaan dari keturunannya; 6. Tidak dapat disembuhkan. Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan anak normal semakin terlihat jelas.
Kemampuan intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet da Skala Weschler (WISC), antara lain Tunagrahita ringan, tunagrahita sedang dan tunagrahita berat. Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan menghitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan uuntuk dirinya sendiri.
Anak terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tanggabahkan jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di pabrik-pabrik dnegan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang mental ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen.
Pada umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. Bila dikehendaki, mereka masih dapat bersekolah di sekolah anak berkesulitan belajar. Ia akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan luar biasa.
Dalam hal kecepatan belajar (learning rate), anak tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak tunagrahita lebih  banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut. Dalam kaitannya dengan makna pelajaran, ternyata anak tunagrahita dapat mencapai prestasi yang lebih baik dalam tugas diskriminasi, misalnya mengumpulkan bentuk-bentuk yang berbeda, memisahkan pola-pola yang berbeda jika mereka melakukannya dengan perhatian. Penelitian lain mengenai verbal recall, perbedaananak tunagrahita dengan anak normal yang masih duduk di taman kanak-kanak, ternyata tidak terletak pada kecepatan, melainkan pada strategi memproses recall. Anak taman kanak-kanak lebih efisien daripada anak tunagrahita karena menemukan kaidah (Suhaeri, HN., 1984).
Berkenaan denga memori, anak tunagrahita  berbeda dengan anak normal pada short term memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam lng term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Beberapa penjelasan tentang kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dipahami dengan pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963) menetapkan teori kejenuhan Cortical trehadap anak tunagrahita. Spitz mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel Cortical anak tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan perubahan fisik.
Istilah lain dari tunagrahita sebagai berikut:
  1. Lemah fikiran (feeble-minded);
  2. Terbelakang mental (Mentally Retarded);
  3. Bodoh atau dungu (idiot);
  4. Pandir (imbecile);
  5. Tolol (moron);
  6. Oligofrena (oligophrenia);
  7. Mampu didik (educable);
  8. Mampu latih (trainable);
  9. Ketergantungan penuh (totally dependent) butuh rawat;
  10. Mental subnormal;
  11. Defisit mental;
  12. Defisit kognitif;
  13. Cacat mental
  14. Defisiensi mental;
  15. Gangguan intelektual
B.        Ciri-Ciri Anak Tuna Grahita
Anak tuna grahita dapat dikenali dengan beberapa ciri-ciri berikut:
  1. Sindroma down/mongoloid
  2. Hydrocephalus yaitu ukuran kepala besar yang berisi cairan
  3. Microcephalus yaitu ukuran kepala terlalu kecil
  4. Macrocephalus yaitu ukuran kepala terlalu besar
Karakteristik:
1.      Lamban dalam mempelajari hal-hal yang baru
  1. Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru
  2. Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat
  3. Cacat fisik dan perkembangan gerak
  4. Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri
  5. Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim
  6. Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus

C.        Tingkatan Kecerdasan Anak Tuna Grahita
Tingkat kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya disebut dengan IQ (intelligence quotient). Tingkat kecerdasan biasa dikelompokkan ke dalam tingkatan sebagai berikut:
a.         Tunagrahita ringan  memiliki IQ 70-55
b.        Tunagrahita sedang  memiliki IQ 55-40
c.         Tunagrahita berat  memiliki IQ 40-25
d.        Tunagrahita berat sekali  memiliki IQ <25
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan mengenani pengertian anak tuna grahita adalah merupakan kondisi yang komplek, menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan mengalami hambatan dalam perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikatagorikan sebagai tunagrahita apabila tidak memiliki dua hal tersebut yaitu, perkembangan intelektual yang rendah dan kesulitan dalam perilaku adaptif.

D. Pembelajaran bagi anak tuna grahita di sekolah inklusi
v Jenis-jenis pengajaran yang dapat di ajarkan kepada anak tuna grahita
a)    Pengajaran untuk menangani hamabatan dalam aspek bahasa
              Bahasa dan inteligensi begitu berkaitan sehingga ada ahli yang mendefinisikan ketunagrahitaan berdasarkan defisit bahasanya. Diasumsikan secara meluas bahwa bahasa diperlukan untuk sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan stimulus verbal, respon verbal, atau keduanya. Defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan karakteristik yang paling menonjol yang membedakan antara orang tunagrahita dan non-tunagrahita (Ingalls, 1978).
Pendekatan‑pendekatan dalam Pengajaran Bahasa kepada Anak Tunagrahita Sellin (1979) mengemukakan empat pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan pendekatan etologi.

|  Pendekatan Sosiolinguistik
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita. Sosiolinguis memandang fungsi bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan substitusi dalam ujaran. Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya: (1) fonologi (bunyi, lafal); (2) semantik (makna, definisi); (3) sintaksis (susunan kata); dan (4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian). Keempat elemen tersebut saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu elemen tertentu dapat dilakukan.
|  Pendekatan Behaviorisme
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch & Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam Sellin (1979). Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events).
|Pendekatan Psikolinguistik
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan,dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
|  Pendekatan Etologi (Ethological Approach)
Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan integration. Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb. Kontrol adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan. Self‑extended control adalah tuntutan agar anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.

b)        Pengajaran untuk menangani hambatan dalam aspek Bina Diri
Pendekatan pembelajaran merupakan strategi implementatif untuk menunjang efektifitas pembelajaran, berikut ini akann disajikan alternatif pendekatan yang memungkinkan dalam pembeljaran Bina Diri.
a.    Pembelajaran Tematik
Pendekatan/model pembelajaran tematik merupakan model pembelajaran yang melibatkan konsep-konsep baik dalam satu mata pelajaran lintas mata pelajaran. Tema yang dipilih harus memiliki cakupan yang luas dan dapat membekali siswa untuk belajar selanjutnya. Penggunaan konsep dari tiap mata pelajaran tidak digunakan untuk lateralisasi mata pelajaran, tetapi dijadikan alat untuk mempelajrai dan menjalajahi topik/tema. Karakteristik pembelajaran tematik ditunjukan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.Holistik, suatu peristiwa yang menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran dikaji dari beberapa mata pelajaran sekaligus untuk memahami satu fenomena dari segala sisi.
b.Bermakna, Keterkaiatan antara konsep digunakan untuk menambah kebermaknaan konsep yang dipelajarai dan diharapkan siswa dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan nyata
c. Aktif, pembelajaran dilakukan secara menyenangkan dan peserta didik dapat terlibat aktif.


F.   Asas pengajaran bagi anak tuna grahita
Di bawah ini asas pengajaran yang selama ini telah diterapkan di sekolah luar biasa bagi anak tuna grahita yaitu:
  1. Asas keperagaan
Karena anak tuna grahita sangat lambat daya tangkapnya maka penggunaan alat bantu mengajar sangat bermanfaat. Manfaat penggunaan alat peraga bagi anak tuna grahita yaitu untuk menarik minat anak untuk belajar agar anak tidak cepat bosan karena anak tuna grahita cepat sekali bosan dalam menerima pelajaran, mencegah verbalisme yaitu anak hanya tahu kata-kata tanpa mengerti maksudnya anak tuna grahita sering menirukan apa yang didengar atau dikatakan oleh temannya padahal mereka tidak tahu maksud yang dikatakan tersebut, dengan alat peraga pengalaman anak akan diberikan secara baik yaitu dari yang paling kongkret menuju ke hal yang kongkret akhirnya ke hal-hal yang abstrak, anak akan mendapat pengertian yang mendalam. Untuk anak tuna grahita penggunaan alat peraga ini lebih banyak karena berguna membantu proses berpikir anak, meskipun pengertian materi-materi tersebut sangat sederhana.
  1. Asas Kehidupan Kongkret
Di dalam penerapan asas ini anak diperlihatkan dengan benda atau dengan situasi yang sesungguhnya, kemudian dijelaskan pula penggunaan atau kenyataan yang sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. Suatu contoh anak diajak ke pasar, dikenalkan alat-alat atau kebutuhan makanan sehari-hari. Misal: panci, sendok, piring, garpu dan lain-lain beserta penggunaan atau bahan makan misal beras, sayuran, gula, dan sebagainya. Atau contoh lain anak dikenalkan alat-alat yang dipergunakan untuk membersihkan gigi, dijelaskan bagaimana cara menggunakan sekaligus diberi pengertian dengan menggosok gigi secara rutin dapat terjaga kesehatan giginya.
  1. Asam Sosialisasi
Bersosialisasi penting sekali bagi anak tuna grahita. anak tuna grahita harus belajar mewujudkan dirinya sendiri dan diharapkan anak merasa bahwa dirinya punya pribadi yang ada persamaan dan perbedaan dengan pribadi yang lain. Dengan penerapan asas ini diharapkan anak terbelakang dapat menemukan tempat tertentu dalam masyarakat yang sesuai dengan kemampuannya dan dapat mengembangkan tingkah laku yang sesuai serta dapat diterima dalam masyarakat.
  1. Asas Skala Perkembangan Mental
Mengingat bahwa anak tuna grahita mempunyai keterbelakangan dalam kemampuan berpikir, akibatnya ada anak yang mempunyai umur kalender lebih banyak, sedang umur mentalnya dibawah umur kalendernya. Oleh sebab itu dalam pengajaran diterapkan asas skala perkembangan mental. Asas ini berhubungan dengan penempatan anak di dalam kelas-kelas. Pengajaran akan berhasil apabila di dalam suatu kelas perkembangan mental anak sama atau hampir sama, sehingga memudahkan dalam memberikan materi pelajaran. Meskipun demikian dalam menyampaikan pelajaran guru harus menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak.
  1. Asas Individual
Maksud asas individual yaitu pemberian bantuan atau bimbingan kepada seseorang sesuai dengan kemampuannya agar dapat belajar dengan baik. Asas ini penting sekali bagi anak tuna grahita dikarenakan kemampuannya yang terbatas sehingga menghambat perkembangan kepribadian. Oleh karena itulah perlu pengajaran individual. Karena selain kemampuan yang terbatas, anak tuna grahita cenderung terganggu emosinya/ emosi tidak stabil dimana hal ini merupakan penghambat, maka perlu pengajaran individual guna mencari sebab dan cara mengurangi gangguan tersebut.

F.  Penyebab Tuna Grahita
Terdapat banyak penyebab tuna grahita, seperti penyakit yang diderita semasa kehamilan, kerusakan dalam metabolism, penyakit pada otak atau kromosom yang abnormal, factor lingkun-gan, pola makan yang tidka baik, dan perawatan yang tidak sesuai. Laporan Organisasi Keseha-tan Dunia (WHO) memaparkan bahwa 30 % dari anak-anak yang tuna grahita serius disebabkan oleh ketidaknormalan genetic, sepeerti down sydrom,25% disebabkan oleh celebral palsy, 30% disebabkan oleh meningitis dan masalah prenatal, sedangkan 15% sisanya belum didapatkan penyebabnya.
Grossman (1983) memaparkan ( factor yang menjadi penyebab timbulnya cacat mental :
1. Penyakit yang disebabkan minuman keras.
2. Trauma
3. Metabolisme atau pola makan yang tidak baik
4. Penyakit dalam otak
5. Pengaruh saat masa kehamilan yang tidak diketahui
6. Kromoson yang abnormal
7. Gangguan semasa kehamilan
8. Gangguan Psikiatris
9. Pengaruh Lingkungan
Berikut ini akan dibahas beberapa penyebab ketunagrahitaan yang sering ditemukan baik yang berasal dari factor keturunan maupun faktor lingkungan.
1) Faktor Keturunan. Penyebab kelainan yang berkaitan dengan factor keturunan.
2) Gangguan metabolisme dan gizi. Metabolisme dan gizi merupakan factor yang sangat penting dalam pengembangan individu terutama perkembangan sel-sel otak.
3) Infeksi dan keracunan. Keadaan ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada dalam kandungan. Penyakit yang dimaksud, yaitu rubella yang mengaki-batkan ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendenganran, penyakit jantung bawaan, berta badan sangat kurang ketika lahir, syphilis bawaan, syndrome gravidity beracun, hamper pada semua kasus berakibat ketunagrahitaan.
4) Trauma dan zat radioaktif. Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena radiasi zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan kelahiran yang sulit sehingga memerlukan alat bantu.
5) Maslah pada kelahiran. Maslah yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang disertai hyposis yang dipastikan bayi akan menderita karusakan otak, kejang,dan nafas pendek. Kerusakan juga disebabkan oleh trauma mekanis terutama kelahiran yang sulit.
6) Faktor lingkungan. Penelitian yang dilakukan untuk membuktikan hal ini adalah temuan Patton dam Polloway (1986;188) bahwa bermacam-macam pengalaman negative atau kegagalan dalam melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkmebangan menjadi slah satu penyebab ketunagrahitaan.

G. Pencegahan Tuna Grahita
Dengan ditemukannya berbagai penyakit ketunagrahitaan sebagai hasil penyelidikan oleh para ahli, seyogyanya diikuti dengan berbagai upaya pencegahannya.
Berbagai alternative upaya pencegahan yang disarankan, anatara lain sebagai berikut:
1.    Penyuluhan genetic, yaitu suatu usaha mengkomunikasikan berbagai informasi mengenai masalah genetika. Penyuluhan ini dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronik atau secara langsung melalui posyandu dan klinik.
2.    Diagnostik prenatal, yaitu usaha pemeriksaan kehamilan sehingga dapat diketahui lebih dini apakah janin mengalami kelainan.
3.    Imunisasi, dilakukan terhadap ibu hamil maupun anak balita. Dengan imunisasi ini dapat dicegah penyakit yang menggangguperkembangan bayi/anak.
4.    Tes darah, dilakukan terhadap pasangan yang akan menikah untuk menghindari kemungkinan menurunkan benih-benih kelainan.
5.    Melalui program keluarga berencana, pasangan suami istri dapat mengatur kahamilan dan menciptakan keluarga yang sejahtera baik fisik dan psikis.
6.    Tindakan operasi, hal ini dibutuhkan bila ada kelahiran dengan resiko tinggi, misalnya kekurangan oksigen, adanya trauma pada masa prenatal (proses kelahiran).
7.    Sanitasi lingkungan, yaitu mengupayakan terciptanya lingkungan yang baik sehingga tidak menghambat perkembangan bayi/anak.
8.    Pemeliharaan kesehatan, terutama pada ibu hamil yang menyangkut pemeriksaan kesehatan selama hamil, penyediaan vitamin, menghindari radiasi dan sebagainya.
9.    Intervensi dini, dibutuhkan oleh para orang tua agar dapat membantu perkembangan anaknya secara dini.


H. Penanganan Tuna Grahita
Guru memegang peranan penting dalam pendidikan khusus untuk berbagai jenis ketidak mampuan termasuk termasuk tunagrahita.Peran apapun yang dimainkan, guru pendidikan khusu berhadapan dengan situasi yang membutuhkan mereka untuk membuat keputusan dan rencana pendidikan untuk murid mereka, termasuk penilaian.Terdapat banyak kasus dimana murid tidka diketahui secara pasti kecacatan yang dialaminya dan sering dianggap sebagai murid yang gagal dalam pembelajaran karena bodoh, malas dan sebagainya. Maka ujian pengenalan harus dilakukan agar dapat diketahui dengan baik masalah yang sebenarnya yang menyebabkan murid tersebut tidak mencapai tujuan pembelajaran.
Pelaksanaan uji pengenalan bukanlah hal yang mudah karena menuntut guru untuk memiliki kemampuan untuk melakukan uji tersebut. Contohnya guru harus memiliki pengetahuan dan keahlian dalam menilai untuk menentukan ketidakmampuan murid luar biasa seperti berikut:
v Pengumpulan data: Proses mengumpulkan informasi dari berbagai sumber mengenai murid, seperti rapor sekolah yang ada, sikap dan atensi, informasi dari orang tua dan laporan guru.
v Analisis : Analisis untuk latar belakang anak-anak dari segi pendidikan, social, lingkungan, catatan medis, emosi dan pertubuhan, serta perkembangan.
v Penilaian: Menilai murid dari segi perkembangan akademik, intelektual, psikologis, emosi, persepsi, bahasa, kognitif, dan pengobatan untuk menentukan kelebihan dan kekurangannya.
v Penentuan: Menentukan ketidakmampuan atau tingkat kecacatan murid berdasarkan cirri-ciri untuk setiap kategori.
v Rencana: Merencanakan program pendidikan yang sesuai untuk murid dengan menyerahkaannya kepada orang tua.
Penilaian dan uji pengenalan adalah proses yang kompleks yang membutuhkan banyak cara untuk mengumpulkan informasi mengenai murid. Proses mengumpukan informasi membutuhkan perhatian terhadap interaksi murid dengan orang tua, guru, dan teman-temannya; berbicara dengan murid dan mereka yang memiliki hubungan dekat dengannya; meneliti rapor sekolah dan catatan penilaian yang pernah dilakukan; menilai latar belakang perkembangan dan catatan medis; menggunakan informasi berdasarkan kumpulan pengamatan dari orang tua atau guru; menilai kebutuhan dan penilaian kurikulum; menilai jenis dan tahap pembelajaran murid di saat waktu tertentu; menggunakan analisis tugas untuk mengetahui komponen yang dikuasai dan kemampuan yang belum dikuasai; dan mengumpulkan skala mengenai sikap guru terhadap murid, penerimaan teman sebaya dan kelasnya.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melalui pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak lainnya(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Meskipun memang idealnya dalam sebuah institusi sekolah yang menggunakan konsep pendidikan inklusi seharusnya dari beberapa jenis anak berkebutuhan diatas bisa ditangani atau diberi pelayanan seluruhnya namun dalam makalah ini akan lebih di titik beratkan terhadap pemberian pelayanan pendidikan yang baik bagi anak tuna grahita di sekolah inklusi hal tersebut dapat di lakukan melalui modifikasi beberapa jenis model pembelajaran yang bisa di terapkan pada anak tuna grahita di sekolah inklusi serta modifikasi prinsip pembelajaran, namun meskipun begitu dalam penerapannya di sekolah inklusi berbagai modifikasi model, metode ataupun prinsip pembelajaran di atas haruslah juga di sesuaikan dengan kebutuhan anak tuna grahita yang ada di sekolah atau kelas tersebut dengan memberikan penempatan yang tepat sesuai dengan apa yang ia butuhkan.
Anak tunagrahita memang memiliki kemampuan terbatas,namun mereka masih memiliki harapan dengan melalui pelatihan dan bimbingan juga kesempatan dan dukungan agar mereka mengembangkan potensi-potensinya sehingga mampu membantu dirinya sendiri dan memiliki harga diri seperti orang-orang normal lainnya. Intinya adalah agar anak dapat memfungsikan potensi-potensi yang masih ada dalam dirinya terutama agar dia bisa menjalani hidup yang bermartabat.








DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar