MAKALAH
TUNA
GRAHITA
Sebagai Tugas Mata Kuliah
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)
Disusun Oleh:
KELOMPOK 3
Bagus
Panuntun (A510110215)
Wati
Ningrum (A510110209)
Aditya
Wardana (A510120212)
Zuli
Isnawati (A510120209)
Selvameidha Q.P (A510120204)
Wiwik
Ekowati (A510120215)
PROGRAM S-1
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kenyataan
mengenai anak-anak luar biasa yang jumlahnya semakin banyak di dunia kita ini,
pertama kali dilihat oleh Nancy Ann Tappe yang menciptakan istilah deskriptif
ini dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1982 “ Understanding Your Life
Through Color”. Banyak pula klasifikasi kelainan bagi anak luar biasa atau
sekarang lebih dikenal dengan Anak Berkebutuhan Khusus ( ABK ). Salah satu tipe
anak berkebutuhan khusus adalah anak dengan IQ ( kecerdasan intelektual )
rendah atau terkenal dengan sebutan Down Syndrom.
Down
Syndrom atau Tuna Grahita adalah suatu gangguan fungsi intelektual di bawah
rata – rata dan gangguan dalam keterampilan adaptif yang ditemukan sebelum
seseorang berumur 18 tahun. Saat ini kategori anak Tuna Grahita atau lemah otak
semakin berkembang jumlahnya. Hal inilah yang menjadi suatu permasalahan
tersendiri bagi para ortopedagog serta orang tua penderita yang memiliki anak
Tuna Grahita. Untuk itu telah banyak penelitian dan aktivitas yang dilakukan
para ahli untuk mengetahui seluk beluk mengenai anak penyandang Tuna Grahita
ini.
Karakteristik
anak tuna grahita yang mudah bosan dan kurang mampunya untuk menyimpan long
term memori, sehingga perlu adanya sistem pembelajaran yang menarik dan
menyenangkan. Konsep teori belajar sambil bermain dirasa dapat memberikan hasil
yang optimal bagi anak tunagrahita. Pada teori ini, juga dipilih permainan yang
dapat melatih kemampuan motorik kasar, motorik halus, melatih emosi, pengenalan
warna dan bentuk bagi anak tuna grahita. Salah satu jenis permainan itu, yaitu
meronce. Meronce merupakan jenis permainan yang menarik bagi siswa, selain itu
bermanfaat besar bagi anak- anak penyandang ketunagrahitaan.
B. Rumusan
Masalah
1.
Bagaimana definisi anak tuna
grahita?
2.
Bagaimana ciri-ciri sera
karakteristik anak tuna grahita?
3.
Bagaimana tingkatan
kecerdasan anak tuna grahita?
4.
Bagaimana Pembelajaran bagi
anak tuna grahita di sekolah inklusi?
5.
Bagaimana Asas pengajaran
bagi anak tuna grahita?
6.
Apa penyebab Anak Tuna Grahita?
7.
Bagaiamana Pencegahan anak Tuna Grahita?
8.
Bagaimana penanganan terhadap Anak tuna grahita?
C.
Tujuan
1.
Memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan Anak Tuna Grahita.
2.
Mengetahui pengertian dan ciri-ciri tuna grahita.
3.
Mengetahui bagaimana penerapan konsep belajar sambil bermain bagi anak
tuna grahita.
4. Mengetahui bagaimana penerapan keterampilan meronce dan manfaatnya bagi anak
tuna grahita.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tuna Grahita
Tunagrahita
adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan
intelektual di bawah rata-rata. Dalam kepustakaan asing digunakan
istilah-istilah mental retardation, mentally retarded, mental deficiency,
mental defective, dll. Sedangkan menurut Tredgold th. 1937 (dalam Smile
et.all., 2002:47) menyatakan bahwa individu dianggap tunagrahita ditandai oleh
perkembangan mental yang tidak sempurna dengan bermacam-macam tingkatan tidak
mampu beradaptasi dengan lingkungan normal dan membutuhkan perawatan,
supervisi, dan kontrol.
Menurut
Edgare Dole (1941) seseorang dianggap cacat mental jiak ditandai: 1. Tidak
berkemampuan secara sosial dan tidak mampu mengelola dirinya sampai tingkat
dewasa; 2. Mental di bawah normal; 3. Terlambat kecerdasannya sejak lahir; 4.
Terlambat tingkat kemasakannya; 5. Akibat pembawaan dari keturunannya; 6. Tidak
dapat disembuhkan. Pada masa awal perkembangan, hampir tidak ada perbedaan
antara anak-anak tunagrahita dengan anak yang memiliki kecerdasan rata-rata. Akan
tetapi semakin lama perbedaan pola perkembangan antara anak tunagrahita dengan
anak normal semakin terlihat jelas.
Kemampuan
intelegensi anak tunagrahita kebanyakan diukur dengan tes Stanford Binet
da Skala Weschler (WISC), antara lain Tunagrahita ringan, tunagrahita
sedang dan tunagrahita berat. Tunagrahita ringan disebut juga moron atau
debil. Kelompok ini memiliki IQ antara 68-52 menurut Binet, sedangkan
menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ 69-55. Mereka masih dapat belajar
membaca, menulis dan menghitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang
baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh
penghasilan uuntuk dirinya sendiri.
Anak
terbelakang mental ringan dapat dididik menjadi tenaga kerja semi-skilled
seperti pekerjaan laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tanggabahkan
jika dilatih dan dibimbing dengan baik anak tunagrahita ringan dapat bekerja di
pabrik-pabrik dnegan sedikit pengawasan. Namun demikian anak terbelakang mental
ringan tidak mampu melakukan penyesuaian sosial secara independen.
Pada
umumnya anak tunagrahita ringan tidak mengalami gangguan fisik. Mereka secara
fisik tampak seperti anak normal pada umumnya. Oleh karena itu agak sukar
membedakan secara fisik antara anak tunagrahita ringan dengan anak normal. Bila
dikehendaki, mereka masih dapat bersekolah di sekolah anak berkesulitan
belajar. Ia akan dilayani pada kelas khusus dengan guru dari pendidikan luar
biasa.
Dalam hal
kecepatan belajar (learning rate), anak tunagrahita jauh ketinggalan oleh anak
normal. Untuk mencapai kriteria-kriteria yang dicapai oleh anak normal, anak
tunagrahita lebih banyak memerlukan ulangan tentang bahan tersebut. Dalam
kaitannya dengan makna pelajaran, ternyata anak tunagrahita dapat mencapai
prestasi yang lebih baik dalam tugas diskriminasi, misalnya mengumpulkan
bentuk-bentuk yang berbeda, memisahkan pola-pola yang berbeda jika mereka
melakukannya dengan perhatian. Penelitian lain mengenai verbal recall, perbedaananak
tunagrahita dengan anak normal yang masih duduk di taman kanak-kanak, ternyata
tidak terletak pada kecepatan, melainkan pada strategi memproses recall. Anak
taman kanak-kanak lebih efisien daripada anak tunagrahita karena menemukan
kaidah (Suhaeri, HN., 1984).
Berkenaan
denga memori, anak tunagrahita berbeda dengan anak normal pada short term
memory. Anak tunagrahita tampaknya tidak berbeda dengan anak normal dalam lng
term memory, daya ingatnya sama dengan anak normal. Beberapa penjelasan tentang
kekurangan anak tunagrahita pada ingatan jangka pendek dipahami dengan
pendekatan konsep neuro-biologis. Spitz (1963) menetapkan teori kejenuhan
Cortical trehadap anak tunagrahita. Spitz mengajukan sebuah hipotesis bahwa sel
Cortical anak tunagrahita lebih lambat dalam perubahan kimia, listrik, dan
perubahan fisik.
Istilah lain
dari tunagrahita sebagai berikut:
- Lemah fikiran (feeble-minded);
- Terbelakang mental (Mentally Retarded);
- Bodoh atau dungu (idiot);
- Pandir (imbecile);
- Tolol (moron);
- Oligofrena (oligophrenia);
- Mampu didik (educable);
- Mampu latih (trainable);
- Ketergantungan penuh (totally dependent) butuh rawat;
- Mental subnormal;
- Defisit mental;
- Defisit kognitif;
- Cacat mental
- Defisiensi mental;
- Gangguan intelektual
B. Ciri-Ciri
Anak Tuna Grahita
Anak tuna
grahita dapat dikenali dengan beberapa ciri-ciri berikut:
- Sindroma down/mongoloid
- Hydrocephalus yaitu ukuran kepala besar yang berisi cairan
- Microcephalus yaitu ukuran kepala terlalu kecil
- Macrocephalus yaitu ukuran kepala terlalu besar
Karakteristik:
1. Lamban dalam
mempelajari hal-hal yang baru
- Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru
- Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat
- Cacat fisik dan perkembangan gerak
- Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri
- Tingkah laku dan interaksi yang tidak lazim
- Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus
C. Tingkatan Kecerdasan Anak
Tuna Grahita
Tingkat
kecerdasan seseorang diukur melalui tes inteligensi yang hasilnya disebut
dengan IQ (intelligence quotient). Tingkat kecerdasan biasa dikelompokkan ke
dalam tingkatan sebagai berikut:
a. Tunagrahita
ringan memiliki IQ 70-55
b. Tunagrahita
sedang memiliki IQ 55-40
c. Tunagrahita
berat memiliki IQ 40-25
d. Tunagrahita
berat sekali memiliki IQ <25
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan mengenani pengertian anak
tuna grahita adalah merupakan kondisi yang komplek,
menunjukkan kemampuan intelektual yang rendah dan mengalami hambatan dalam
perilaku adaptif. Seseorang tidak dapat dikatagorikan sebagai tunagrahita
apabila tidak memiliki dua hal tersebut yaitu, perkembangan intelektual yang
rendah dan kesulitan dalam perilaku adaptif.
D. Pembelajaran
bagi anak tuna grahita di sekolah inklusi
v Jenis-jenis pengajaran yang dapat di ajarkan kepada anak tuna grahita
a)
Pengajaran
untuk menangani hamabatan dalam aspek bahasa
Bahasa dan inteligensi begitu
berkaitan sehingga ada ahli yang mendefinisikan ketunagrahitaan berdasarkan
defisit bahasanya. Diasumsikan secara meluas bahwa bahasa diperlukan untuk
sebagian besar proses berpikir tingkat tinggi, dan oleh karenanya sebagian
besar item dalam kebanyakan tes inteligensi melibatkan stimulus verbal, respon
verbal, atau keduanya. Defisit dalam keterampilan bahasa mungkin merupakan
karakteristik yang paling menonjol yang membedakan antara orang tunagrahita dan
non-tunagrahita (Ingalls, 1978).
Pendekatan‑pendekatan dalam
Pengajaran Bahasa kepada Anak Tunagrahita Sellin (1979) mengemukakan empat
pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunagrahita, yaitu pendekatan
sosiolinguistik, pendekatan psikolinguistik, pendekatan behaviorisme, dan
pendekatan etologi.
| Pendekatan
Sosiolinguistik
Penggunaan pendekatan sosiolinguistik dalam pengajaran bahasa bagi siswa
tunagrahita dikembangkan oleh Adler (1971), dan dimaksudkan untuk menjembatani
diskrepansi antara bahasa baku yang dipergunakan guru dengan bahasa non‑baku
yang sering dijumpai pada siswa tunagrahita. Sosiolinguis memandang fungsi
bahasa terutama sebagai alat komunikasi sosial, yaitu pertukaran makna antaranggota
sebuah masyarakat budaya. Penggunaan bahasa non‑baku seyogyanya dapat diterima
selama hal itu sama efektifnya dalam menyampaikan maksud pembicara. Oleh karena
itu, pengajaran bahasa seyogyanya lebih ditekankan pada pembinaan keterampilan
berbahasa sebagai alat komunikasi sosial, tidak pada ketepatan pelafalan atau
aksen tertentu ‑ sehingga guru seyogyanya bertoleransi terhadap omisi dan
substitusi dalam ujaran. Bahasa anak seyogyanya diases menurut empat elemennya:
(1) fonologi (bunyi, lafal); (2) semantik (makna, definisi); (3) sintaksis
(susunan kata); dan (4) morfologi (tata bentuk kata yang terkait dengan
struktur kalimat seperti pembentukan kata jadian). Keempat elemen tersebut
saling terkait dan sulit untuk dipisah‑pisahkan, tetapi penekanan terhadap satu
elemen tertentu dapat dilakukan.
| Pendekatan
Behaviorisme
Para penganut faham behaviorisme memandang bahasa
sebagai perilaku, yang dapat diperoleh melalui prosedur operant (Lynch &
Brecker, 1972; Perozzi, 1972: Jeffery, 1973; Miller & Yoder, 1973; dalam
Sellin (1979). Lynch dan Brecker menggambarkan perolehan keterampilan berbahasa
sebagai satu proses pengaruh lingkungan. Perolehan bahasa merupakan rangkaian
linear dari bentuk yang primitif menuju bentuk yang semakin kompleks, yang didasarkan
atas peristiwa-peristiwa pemicu (antecedent events).
|Pendekatan Psikolinguistik
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan,dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
Dengan menekankan pentingnya kesiapan/kematangan, pengaruh lingkungan,dan intervensi guru, pendekatan psikolinguistik ini memiliki kesamaan dengan prinsip sosiolinguistik dan prosedur operant, tetapi terdapat perbedaan dalam asumsi tentang hakikat bahasa, asesmennya, dan metode pelatihannya.
| Pendekatan Etologi (Ethological
Approach)
Program yang didesain oleh Sailor et al. mengilustrasikan struktur dan isi
pelatihan bahasa yang menggunakan pendekatan etologi. Struktur program tersebut
difokuskan pada empat elemen: reference, control, self‑extended control, dan
integration. Referensi adalah upaya menciptakan peristiwa yang menuntut respon
dari anak, seperti reaksi terhadap arahan, suruhan, isyarat, dsb. Kontrol
adalah tuntutan belajar perilaku tertentu yang terkandung di dalam
bentuk-bentuk bahasa yang diajarkan. Self‑extended control adalah tuntutan agar
anak belajar keterampilan self‑management. Secara spesifik, anak harus belajar
mencari sendiri informasi bila dihadapkan dengan kurangnya informasi ‑ apa, di
mana, bagaimana, dsb. Integrasi adalah penggabungan ketiga kegiatan tersebut.
b)
Pengajaran
untuk menangani hambatan dalam aspek Bina Diri
Pendekatan pembelajaran merupakan strategi implementatif untuk menunjang
efektifitas pembelajaran, berikut ini akann disajikan alternatif pendekatan
yang memungkinkan dalam pembeljaran Bina Diri.
a.
Pembelajaran Tematik
Pendekatan/model pembelajaran tematik merupakan model
pembelajaran yang melibatkan konsep-konsep baik dalam satu mata pelajaran
lintas mata pelajaran. Tema yang dipilih harus memiliki cakupan yang luas dan
dapat membekali siswa untuk belajar selanjutnya. Penggunaan konsep dari tiap
mata pelajaran tidak digunakan untuk lateralisasi mata pelajaran, tetapi
dijadikan alat untuk mempelajrai dan menjalajahi topik/tema. Karakteristik
pembelajaran tematik ditunjukan dengan ciri-ciri sebagai berikut :
a.Holistik, suatu peristiwa yang
menjadi pusat perhatian dalam pembelajaran dikaji dari beberapa mata pelajaran
sekaligus untuk memahami satu fenomena dari segala sisi.
b.Bermakna, Keterkaiatan antara
konsep digunakan untuk menambah kebermaknaan konsep yang dipelajarai dan
diharapkan siswa dapat menggunakannya untuk memecahkan masalah dalam kehidupan
nyata
c. Aktif, pembelajaran dilakukan
secara menyenangkan dan peserta didik dapat terlibat aktif.
F. Asas pengajaran
bagi anak tuna grahita
Di bawah ini asas pengajaran yang selama ini telah
diterapkan di sekolah luar biasa bagi anak tuna grahita yaitu:
- Asas keperagaan
Karena anak
tuna grahita sangat lambat daya tangkapnya maka penggunaan alat bantu mengajar
sangat bermanfaat. Manfaat penggunaan alat peraga bagi anak tuna grahita yaitu
untuk menarik minat anak untuk belajar agar anak tidak cepat bosan karena anak
tuna grahita cepat sekali bosan dalam menerima pelajaran, mencegah verbalisme
yaitu anak hanya tahu kata-kata tanpa mengerti maksudnya anak tuna grahita
sering menirukan apa yang didengar atau dikatakan oleh temannya padahal mereka
tidak tahu maksud yang dikatakan tersebut, dengan alat peraga pengalaman anak
akan diberikan secara baik yaitu dari yang paling kongkret menuju ke hal yang
kongkret akhirnya ke hal-hal yang abstrak, anak akan mendapat pengertian yang
mendalam. Untuk anak tuna grahita penggunaan alat peraga ini lebih banyak
karena berguna membantu proses berpikir anak, meskipun pengertian materi-materi
tersebut sangat sederhana.
- Asas Kehidupan Kongkret
Di dalam
penerapan asas ini anak diperlihatkan dengan benda atau dengan situasi yang
sesungguhnya, kemudian dijelaskan pula penggunaan atau kenyataan yang
sesungguhnya dalam kehidupan sehari-hari. Suatu contoh anak diajak ke pasar,
dikenalkan alat-alat atau kebutuhan makanan sehari-hari. Misal: panci, sendok,
piring, garpu dan lain-lain beserta penggunaan atau bahan makan misal beras,
sayuran, gula, dan sebagainya. Atau contoh lain anak dikenalkan alat-alat yang
dipergunakan untuk membersihkan gigi, dijelaskan bagaimana cara menggunakan
sekaligus diberi pengertian dengan menggosok gigi secara rutin dapat terjaga
kesehatan giginya.
- Asam Sosialisasi
Bersosialisasi
penting sekali bagi anak tuna grahita. anak tuna grahita harus belajar
mewujudkan dirinya sendiri dan diharapkan anak merasa bahwa dirinya punya
pribadi yang ada persamaan dan perbedaan dengan pribadi yang lain. Dengan
penerapan asas ini diharapkan anak terbelakang dapat menemukan tempat tertentu
dalam masyarakat yang sesuai dengan kemampuannya dan dapat mengembangkan
tingkah laku yang sesuai serta dapat diterima dalam masyarakat.
- Asas Skala Perkembangan Mental
Mengingat
bahwa anak tuna grahita mempunyai keterbelakangan dalam kemampuan berpikir,
akibatnya ada anak yang mempunyai umur kalender lebih banyak, sedang umur
mentalnya dibawah umur kalendernya. Oleh sebab itu dalam pengajaran diterapkan
asas skala perkembangan mental. Asas ini berhubungan dengan penempatan anak di
dalam kelas-kelas. Pengajaran akan berhasil apabila di dalam suatu kelas
perkembangan mental anak sama atau hampir sama, sehingga memudahkan dalam
memberikan materi pelajaran. Meskipun demikian dalam menyampaikan pelajaran
guru harus menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing anak.
- Asas Individual
Maksud asas
individual yaitu pemberian bantuan atau bimbingan kepada seseorang sesuai
dengan kemampuannya agar dapat belajar dengan baik. Asas ini penting sekali
bagi anak tuna grahita dikarenakan kemampuannya yang terbatas sehingga
menghambat perkembangan kepribadian. Oleh karena itulah perlu pengajaran
individual. Karena selain kemampuan yang terbatas, anak tuna grahita cenderung
terganggu emosinya/ emosi tidak stabil dimana hal ini merupakan penghambat,
maka perlu pengajaran individual guna mencari sebab dan cara mengurangi
gangguan tersebut.
F. Penyebab Tuna Grahita
Terdapat banyak penyebab tuna
grahita, seperti penyakit yang diderita semasa kehamilan, kerusakan dalam
metabolism, penyakit pada otak atau kromosom yang abnormal, factor lingkun-gan,
pola makan yang tidka baik, dan perawatan yang tidak sesuai. Laporan Organisasi
Keseha-tan Dunia (WHO) memaparkan bahwa 30 % dari anak-anak yang tuna grahita
serius disebabkan oleh ketidaknormalan genetic, sepeerti down sydrom,25%
disebabkan oleh celebral palsy, 30% disebabkan oleh meningitis dan masalah
prenatal, sedangkan 15% sisanya belum didapatkan penyebabnya.
Grossman (1983) memaparkan ( factor
yang menjadi penyebab timbulnya cacat mental :
1. Penyakit
yang disebabkan minuman keras.
2. Trauma
3. Metabolisme
atau pola makan yang tidak baik
4. Penyakit
dalam otak
5. Pengaruh
saat masa kehamilan yang tidak diketahui
6. Kromoson
yang abnormal
7. Gangguan semasa kehamilan
8. Gangguan
Psikiatris
9. Pengaruh
Lingkungan
Berikut ini akan dibahas beberapa
penyebab ketunagrahitaan yang sering ditemukan baik yang berasal dari factor
keturunan maupun faktor lingkungan.
1) Faktor
Keturunan. Penyebab kelainan yang berkaitan dengan factor keturunan.
2) Gangguan metabolisme dan gizi. Metabolisme dan gizi
merupakan factor yang sangat penting dalam pengembangan individu terutama
perkembangan sel-sel otak.
3) Infeksi dan keracunan. Keadaan
ini disebabkan oleh terjangkitnya penyakit-penyakit selama janin masih berada
dalam kandungan. Penyakit yang dimaksud, yaitu rubella yang mengaki-batkan
ketunagrahitaan serta adanya kelainan pendenganran, penyakit jantung bawaan,
berta badan sangat kurang ketika lahir, syphilis bawaan, syndrome gravidity
beracun, hamper pada semua kasus berakibat ketunagrahitaan.
4) Trauma dan zat radioaktif.
Terjadinya trauma terutama pada otak ketika bayi dilahirkan atau terkena
radiasi zat radioaktif saat hamil dapat mengakibatkan ketunagrahitaan. Trauma
yang terjadi pada saat dilahirkan biasanya disebabkan kelahiran yang sulit
sehingga memerlukan alat bantu.
5) Maslah pada kelahiran. Maslah
yang terjadi pada saat kelahiran, misalnya kelahiran yang disertai hyposis yang
dipastikan bayi akan menderita karusakan otak, kejang,dan nafas pendek.
Kerusakan juga disebabkan oleh trauma mekanis terutama kelahiran yang sulit.
6) Faktor lingkungan. Penelitian
yang dilakukan untuk membuktikan hal ini adalah temuan Patton dam Polloway
(1986;188) bahwa bermacam-macam pengalaman negative atau kegagalan dalam
melakukan interaksi yang terjadi selama periode perkmebangan menjadi slah satu
penyebab ketunagrahitaan.
G.
Pencegahan Tuna Grahita
Dengan
ditemukannya berbagai penyakit ketunagrahitaan sebagai hasil penyelidikan oleh
para ahli, seyogyanya diikuti dengan berbagai upaya pencegahannya.
Berbagai alternative upaya pencegahan
yang disarankan, anatara lain sebagai berikut:
1.
Penyuluhan genetic, yaitu suatu usaha
mengkomunikasikan berbagai informasi mengenai masalah genetika. Penyuluhan ini
dapat dilakukan melalui media cetak dan elektronik atau secara langsung melalui
posyandu dan klinik.
2.
Diagnostik prenatal, yaitu usaha pemeriksaan kehamilan
sehingga dapat diketahui lebih dini apakah janin mengalami kelainan.
3.
Imunisasi, dilakukan terhadap ibu hamil maupun anak
balita. Dengan imunisasi ini dapat dicegah penyakit yang menggangguperkembangan
bayi/anak.
4.
Tes darah, dilakukan terhadap pasangan yang akan
menikah untuk menghindari kemungkinan menurunkan benih-benih kelainan.
5.
Melalui program keluarga berencana, pasangan suami
istri dapat mengatur kahamilan dan menciptakan keluarga yang sejahtera baik
fisik dan psikis.
6.
Tindakan operasi, hal ini dibutuhkan bila ada
kelahiran dengan resiko tinggi, misalnya kekurangan oksigen, adanya trauma pada
masa prenatal (proses kelahiran).
7.
Sanitasi lingkungan, yaitu mengupayakan terciptanya lingkungan
yang baik sehingga tidak menghambat perkembangan bayi/anak.
8.
Pemeliharaan kesehatan, terutama pada ibu hamil yang
menyangkut pemeriksaan kesehatan selama hamil, penyediaan vitamin, menghindari
radiasi dan sebagainya.
9.
Intervensi dini, dibutuhkan oleh para orang tua agar
dapat membantu perkembangan anaknya secara dini.
H.
Penanganan Tuna Grahita
Guru
memegang peranan penting dalam pendidikan khusus untuk berbagai jenis ketidak
mampuan termasuk termasuk tunagrahita.Peran apapun yang dimainkan, guru
pendidikan khusu berhadapan dengan situasi yang membutuhkan mereka untuk
membuat keputusan dan rencana pendidikan untuk murid mereka, termasuk
penilaian.Terdapat banyak kasus dimana murid tidka diketahui secara pasti
kecacatan yang dialaminya dan sering dianggap sebagai murid yang gagal dalam
pembelajaran karena bodoh, malas dan sebagainya. Maka ujian pengenalan harus
dilakukan agar dapat diketahui dengan baik masalah yang sebenarnya yang
menyebabkan murid tersebut tidak mencapai tujuan pembelajaran.
Pelaksanaan
uji pengenalan bukanlah hal yang mudah karena menuntut guru untuk memiliki
kemampuan untuk melakukan uji tersebut. Contohnya guru harus memiliki
pengetahuan dan keahlian dalam menilai untuk menentukan ketidakmampuan murid
luar biasa seperti berikut:
v Pengumpulan
data: Proses mengumpulkan informasi dari berbagai sumber mengenai murid,
seperti rapor sekolah yang ada, sikap dan atensi, informasi dari orang tua dan
laporan guru.
v Analisis :
Analisis untuk latar belakang anak-anak dari segi pendidikan, social,
lingkungan, catatan medis, emosi dan pertubuhan, serta perkembangan.
v Penilaian:
Menilai murid dari segi perkembangan akademik, intelektual, psikologis, emosi,
persepsi, bahasa, kognitif, dan pengobatan untuk menentukan kelebihan dan
kekurangannya.
v Penentuan:
Menentukan ketidakmampuan atau tingkat kecacatan murid berdasarkan cirri-ciri
untuk setiap kategori.
v Rencana:
Merencanakan program pendidikan yang sesuai untuk murid dengan menyerahkaannya
kepada orang tua.
Penilaian
dan uji pengenalan adalah proses yang kompleks yang membutuhkan banyak cara
untuk mengumpulkan informasi mengenai murid. Proses mengumpukan informasi
membutuhkan perhatian terhadap interaksi murid dengan orang tua, guru, dan
teman-temannya; berbicara dengan murid dan mereka yang memiliki hubungan dekat
dengannya; meneliti rapor sekolah dan catatan penilaian yang pernah dilakukan;
menilai latar belakang perkembangan dan catatan medis; menggunakan informasi
berdasarkan kumpulan pengamatan dari orang tua atau guru; menilai kebutuhan dan
penilaian kurikulum; menilai jenis dan tahap pembelajaran murid di saat waktu
tertentu; menggunakan analisis tugas untuk mengetahui komponen yang dikuasai
dan kemampuan yang belum dikuasai; dan mengumpulkan skala mengenai sikap guru
terhadap murid, penerimaan teman sebaya dan kelasnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Melalui
pendidikan inklusif, anak berkebutuhan khusus dididik bersama-sama anak
lainnya(normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Hal ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan
anak berkebutuhan khusus yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Meskipun memang idealnya dalam
sebuah institusi sekolah yang menggunakan konsep pendidikan inklusi seharusnya
dari beberapa jenis anak berkebutuhan diatas bisa ditangani atau diberi
pelayanan seluruhnya namun dalam makalah ini akan lebih di titik beratkan
terhadap pemberian pelayanan pendidikan yang baik bagi anak tuna grahita di
sekolah inklusi hal tersebut dapat di lakukan melalui modifikasi beberapa jenis
model pembelajaran yang bisa di terapkan pada anak tuna grahita di sekolah
inklusi serta modifikasi prinsip pembelajaran, namun meskipun begitu dalam penerapannya di sekolah inklusi berbagai modifikasi
model, metode ataupun prinsip pembelajaran di atas haruslah juga di sesuaikan
dengan kebutuhan anak tuna grahita yang ada di sekolah atau kelas tersebut
dengan memberikan penempatan yang tepat sesuai dengan apa yang ia butuhkan.
Anak tunagrahita
memang memiliki kemampuan terbatas,namun mereka masih memiliki harapan dengan
melalui pelatihan dan bimbingan juga kesempatan dan dukungan agar mereka mengembangkan
potensi-potensinya sehingga mampu membantu dirinya sendiri dan memiliki harga
diri seperti orang-orang normal lainnya. Intinya adalah agar anak dapat
memfungsikan potensi-potensi yang masih ada dalam dirinya terutama agar dia
bisa menjalani hidup yang bermartabat.
DAFTAR PUSTAKA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar