FILSAFAT PENDIDIKAN
Pandangan Filsafat Tentang Hakikat
Manusia
Disusun oleh:
1.
Ariska Nugraheni (A510120207)
2.
Zuli Isnawati (A510120209)
3.
Ferry Indri (A510120223)
4.
Kuncoro Adi Saputro (A510120225)
PROGRAM
STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
BAB II
PEMBAHASAN
Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut
antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas, antara
lain:
- Aliran Serba Zat
Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu
hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah
unsur dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi (Muhammad Noor
Syam, 1991)
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu
yang ada di dunia ini ialah roh. Hakikat
manusia juga adalah roh. Sementara zat adalah manifestasi dari roh. Menurut
Fiche, segala sesuatu yang ada (selain roh) dan hidup itu hanyalah perumpamaan,
perubahan atau penjelmaan dari roh (Sidi Gazalba, 1992:288). Dasar pikiran
aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada
materi. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya betapapun kita mencintai
seseorang, jika rohnya pisah dari badannya, maka materi atau jasadnya tidak ada
artinya lagi. Dengan demikian, aliran ini menganggap roh itu ialah hakikat,
sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
- Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya
terdiri dari dua substransi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini
masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama
lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh dan roh tidak berasal dari
badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua, jasad dan roh. Antara badan
dan roh terjadi sebab akibat keduanya saling mempengaruhi.
- Aliran Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat
manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Hakikat
manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia
dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba roh atau dualisme, tetapi dari
segi eksistensi manusia di dunia ini.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan
antara badan dan roh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan roh adalah
substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah
SWT. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia
menurut hukum alam materiil. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi
materi dari bumi dan roh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia
adalah roh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh semata.
Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo
mengemukakan bahwa:
1) Hakekat
manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya, yaitu bagian
esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun
fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan
mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis. Karena
manusia pada hakikatnya adalah hewan, maka ia harus hidup seperti hewan, ia
wajib menjaga badannya dan memenuhi kebutuhannya. Namun, sebagai hewan yang
berakal budi, manusia harus hidup seperti makhluk yang berakal budi.
2) Hakikat
manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya, tidak hanya keselarasan batin
antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat manusia itu sendiri,
tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya (Poespoprodjo,
1988:5).
Keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang
menarik. Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat
bahwa segala peristiwa dan masalah apapun yang terjadi di dunia ini pada
akhirnya berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha mempelajari
hakikat manusia memerlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan
selalu berfikir tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkat pemikiran itu selalu
mempunyai perbedaan (Nawawi,1993:65). Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain
sebagai subyek pandidikan, manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri.
Kedudukan manusia yang paling menarik ialah
bahwa manusia itu menyelidiki kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang
diselidikinya pula (Drijarkara, 1986:50). Kadang, hasil penyelidikan mengenai
lingkungannya itu ternyata lebih memuaskan daripada penyelidikan tentang
manusia itu sendiri.
Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan
makhluk lain. Meski demikian, ada seperangkat perbedaan antara manusia dengan
makhluk lain, yang menganugerahi keunggulan pada diri manusia
(Muthahhari,1992:62). Kenyataan inilah yang terkadang membuat manusia mempunyai
pandangan yang berbeda. Suatu saat manusia akan berfikir bahwa mereka merupakan
salah satu anggota margasatwa (animal kingdom), di saat lain dia juga akan
merasa warga dunia idea dan nilai (Anshari,1992:6). Pandangan seperti itulah
yang pada akhirnya akan memperlihatkan keberadaan manusia secara utuh bahwa
mereka adalah pencari kebenaran.
1. Pandangan Ilmu Pengetahuan Tentang Manusia
Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha
menyelidiki dan mengerti tentang makhluk yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan,
secara khusus tujuannya adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Bagi
Aritoteles (384-322 SM), manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan
pendapatnya dan berbicara berdasarkan akal pikirannya (Zaini dan Ananto, 1986:4).
Menurut tinjauan Islam, manusia adalah pribadi atau
individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan pengabdi Tuhan. Manusia
juga pemelihara alam sekitar, wakil Allah SWT diatas muka bumi ini (Muntasir,
1985:5). Manusia dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan kisah
tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih,
berjalan dengan dua kaki dan berbicara. Islam memandang manusia sebagai makhluk
sempurna dibandingkan dengan hewan dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, karena
itu manusia disuruh menggunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami
mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau
dianggap benar (Jalaluddin dan Usman Said, 1994:28).
Eksistensi manusia yang padat itulah yang perlu (dan
seharusnya) dimengerti dan dipikirkan. Karena pada dasarnya manusia adalah
makhluk religius, yang dengan pernyataan itu mewajibkan manusia memperlakukan
agama sebagai suatu kebenaran yang harus dipatuhi dan diyakini (Muhaimin, 1989:69).
Untuk itu, sangat penting membangun manusia yang sanggup melakukan pembangunan
duniawi, yang mempunyai arti bagi hidup pribadi diakhirat kelak. Dengan kata
lain, usaha pembinaan manusia ideal tersebut merupakan program utama dalam
pendidikan modern pada masa-masa sekarang ini.
2. Kepribadian Manusia dan Pendidikan
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sudah
ribuan abad lamanya menghuni bumi. Sebelum terjadi proses pendidikan di
luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan pendidikan pada
dirinya sendiri, dimana manusia berusaha mengerti dan mencari hakikat
kepribadian tentang siapa diri mereka yang sebenarnya. Dalam ilmu mantiq, manusia disebut sebagai hayawan
al-nathiq (hewan yang berfikir). Berfikir disini maksudnya adalah berkata-kata dan
mengeluarkan pendapat serta fikiran (Anshari, 1982:4).
Dalam prosesnya,
peran efektif pendidikan terhadap pembinaan kepribadian manusia dipengaruhi
oleh lingkungan dan didukung oleh faktor pembawaan manusia sejak lahir. Dalam
kaitan ini, perlu ditinjau kembali tentang teori nativisme, empirisme dan konvergensi.
Pada dasarnya, tujuan pendidikan secara umum adalah untuk membina kepribadian
manusia secara sempurna. Kriteria sempurna ini ditentukan oleh masing-masing
pribadi, masyarakat, bangsa, tempat dan waktu. Pendidikan yang terutama dianggap
sebagai transfer kebudayaan, pengembangan ilmu pengetauan akan membawa manusia
mengerti dan memahami lebih luas tentang masalah seperti itu. Dengan demikian,
ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai praktis di dalam kehidupan, baik sebagai
pribadi maupun sebagai warga masyarakat.
3. Masalah Rohani dan Jasmani
Terlalu banyak sebutan yang diberikan untuk
makhluk-makhluk berakal ciptaan Tuhan , seperti homo sapiens, homo rasionali ,animal social ,al-insan, dan lain
sebagainya. Bentuk sebutan tersebut mencerminkan keragaman sifat dan sikap
manusia. Hal itu dapat terjadi karena di dalam diri manusia itu sendiri terdapat
enam rasa yang menjadi satu, yaitu intelek, agama, susila, sosial, seni dan harga
diri atau sifat keakuan (Muhaimin,1989:63).
Maka, tidak heran kalau sejak dulu manusia tiada
henti-hentinya berusaha membedakan antara unsur manusia yang bersifat lahiriah
dan maknawiah. Kebanyakan ahli filsafat Yunani bependapat bahwa roh itu merupakan
satu unsur yang harus yang dapat meninggalkan badan. Jika pergi dari badan, dia
kembali ke alamnya yang tinggi , meluncur ke angkasa luar dan tidak mati,
sebagaimana ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes(Umar,1984:223).
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan
perakitan antara badan dan roh. Islam mengatakan dengan tegas bahwa kedua
substansi ini adalah substansi alam (Zuhairini, 1992:75). Islam memandang
permasalahan roh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari secara
mendalam (QS al-Isra:85). Karena itu, kendati banyak ilmu yang telah dimiliki,
manusia sampai kapan pun ia tidak akan bisa melebihi Tuhannya (Basalamah, 1993:
155).
Daftar Pustaka
Jalaluddin dan
Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan:
Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar