Rabu, 14 Mei 2014

Pandangan Filsafat Tentang Hakikat Manusia



MAKALAH
FILSAFAT PENDIDIKAN
Pandangan Filsafat Tentang Hakikat Manusia


Disusun oleh:
1. Ariska Nugraheni                (A510120207)
2. Zuli Isnawati                       (A510120209)
3. Ferry Indri                          (A510120223)
4. Kuncoro Adi Saputro          (A510120225)


PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2013
BAB II
PEMBAHASAN

Ilmu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut antropologi filsafat. Dalam hal ini, ada empat aliran yang akan dibahas, antara lain:
  1. Aliran Serba Zat
Aliran ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada itu hanyalah zat atau materi. Alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur dari alam. Maka dari itu, manusia adalah zat atau materi (Muhammad Noor Syam, 1991)
  1. Aliran Serba Roh
Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada di dunia ini ialah roh.  Hakikat manusia juga adalah roh. Sementara zat adalah manifestasi dari roh. Menurut Fiche, segala sesuatu yang ada (selain roh) dan hidup itu hanyalah perumpamaan, perubahan atau penjelmaan dari roh (Sidi Gazalba, 1992:288). Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa roh itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya daripada materi. Dalam kehidupan sehari-hari, misalnya betapapun kita mencintai seseorang, jika rohnya pisah dari badannya, maka materi atau jasadnya tidak ada artinya lagi. Dengan demikian, aliran ini menganggap roh itu ialah hakikat, sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.
  1. Aliran Dualisme
Aliran ini menganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya terdiri dari dua substransi, yaitu jasmani dan rohani. Kedua substansi ini masing-masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi, badan tidak berasal dari roh dan roh tidak  berasal dari badan. Perwujudannya manusia tidak serba dua,  jasad dan roh. Antara badan dan roh terjadi sebab akibat keduanya saling mempengaruhi.
  1. Aliran Eksistensialisme
Aliran filsafat modern berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Hakikat manusia adalah apa yang menguasai manusia secara menyeluruh. Disini, manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba roh atau dualisme, tetapi dari segi eksistensi manusia di dunia ini.
Filsafat berpandangan bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan roh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan roh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah SWT. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam materiil. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan roh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, hakikat manusia adalah roh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh roh semata. Tanpa kedua substansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia.
Terkait dengan hakikat manusia tersebut, Poespoprodjo mengemukakan bahwa:
1)      Hakekat manusia haruslah diambil secara integral dari seluruh bagiannya, yaitu bagian esensial manusia, baik yang metafisis (animalitas dan rasionalitas) maupun fisik (badan dan jiwa). Manusia wajib menguasai hakikatnya yang kompleks dan mengendalikan bagian-bagian tersebut agar bekerja secara harmonis. Karena manusia pada hakikatnya adalah hewan, maka ia harus hidup seperti hewan, ia wajib menjaga badannya dan memenuhi kebutuhannya. Namun, sebagai hewan yang berakal budi, manusia harus hidup seperti makhluk yang berakal budi.
2)      Hakikat manusia harus diambil dari seluruh nisbahnya, tidak hanya keselarasan batin antara bagian-bagian dan kemampuan-kemampuan yang membuat manusia itu sendiri, tetapi juga keselarasan antara manusia dengan lingkungannya (Poespoprodjo, 1988:5).
Keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang menarik. Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala peristiwa dan masalah apapun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha mempelajari hakikat manusia memerlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan selalu berfikir tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkat pemikiran itu selalu mempunyai perbedaan (Nawawi,1993:65). Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebagai subyek pandidikan, manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri.
 Kedudukan manusia yang paling menarik ialah bahwa manusia itu menyelidiki kedudukannya sendiri dalam lingkungan yang diselidikinya pula (Drijarkara, 1986:50). Kadang, hasil penyelidikan mengenai lingkungannya itu ternyata lebih memuaskan daripada penyelidikan tentang manusia itu sendiri.
Manusia memiliki banyak sifat yang serupa dengan makhluk lain. Meski demikian, ada seperangkat perbedaan antara manusia dengan makhluk lain, yang menganugerahi keunggulan pada diri manusia (Muthahhari,1992:62). Kenyataan inilah yang terkadang membuat manusia mempunyai pandangan yang berbeda. Suatu saat manusia akan berfikir bahwa mereka merupakan salah satu anggota margasatwa (animal kingdom), di saat lain dia juga akan merasa warga dunia idea dan nilai (Anshari,1992:6). Pandangan seperti itulah yang pada akhirnya akan memperlihatkan keberadaan manusia secara utuh bahwa mereka adalah pencari kebenaran.
1.  Pandangan Ilmu Pengetahuan Tentang Manusia
Hampir semua disiplin ilmu pengetahuan berusaha menyelidiki dan mengerti tentang makhluk yang bernama manusia. Begitu juga pendidikan, secara khusus tujuannya adalah untuk memahami dan mendalami hakikat manusia. Bagi Aritoteles (384-322 SM), manusia adalah hewan berakal sehat, yang mengeluarkan pendapatnya dan berbicara berdasarkan akal pikirannya (Zaini dan Ananto, 1986:4).
Menurut tinjauan Islam, manusia adalah pribadi atau individu yang berkeluarga, selalu bersilaturahmi dan pengabdi Tuhan. Manusia juga pemelihara alam sekitar, wakil Allah SWT diatas muka bumi ini (Muntasir, 1985:5). Manusia dalam pandangan Islam selalu berkaitan dengan kisah tersendiri, tidak hanya sebagai hewan tingkat tinggi yang berkuku pipih, berjalan dengan dua kaki dan berbicara. Islam memandang manusia sebagai makhluk sempurna dibandingkan dengan hewan dan makhluk ciptaan Tuhan yang lain, karena itu manusia disuruh menggunakan akalnya dan indranya agar tidak salah memahami mana kebenaran yang sesungguhnya dan mana kebenaran yang dibenarkan, atau dianggap benar (Jalaluddin dan Usman Said, 1994:28).
Eksistensi manusia yang padat itulah yang perlu (dan seharusnya) dimengerti dan dipikirkan. Karena pada dasarnya manusia adalah makhluk religius, yang dengan pernyataan itu mewajibkan manusia memperlakukan agama sebagai suatu kebenaran yang harus dipatuhi dan diyakini (Muhaimin, 1989:69). Untuk itu, sangat penting membangun manusia yang sanggup melakukan pembangunan duniawi, yang mempunyai arti bagi hidup pribadi diakhirat kelak. Dengan kata lain, usaha pembinaan manusia ideal tersebut merupakan program utama dalam pendidikan modern pada masa-masa sekarang ini.
2. Kepribadian Manusia dan Pendidikan
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sudah ribuan abad lamanya  menghuni bumi. Sebelum terjadi proses pendidikan di luar dirinya, pada awalnya manusia cenderung berusaha melakukan pendidikan pada dirinya sendiri, dimana manusia berusaha mengerti dan mencari hakikat kepribadian tentang siapa diri mereka yang sebenarnya. Dalam  ilmu mantiq, manusia disebut sebagai hayawan al-nathiq (hewan yang berfikir). Berfikir disini maksudnya adalah berkata-kata dan mengeluarkan pendapat serta fikiran (Anshari, 1982:4).
Dalam  prosesnya, peran efektif pendidikan terhadap pembinaan kepribadian manusia dipengaruhi oleh lingkungan dan didukung oleh faktor pembawaan manusia sejak lahir. Dalam kaitan ini, perlu ditinjau kembali tentang teori nativisme, empirisme dan konvergensi. Pada dasarnya, tujuan pendidikan secara umum adalah untuk membina kepribadian manusia secara sempurna. Kriteria sempurna ini ditentukan oleh masing-masing pribadi, masyarakat, bangsa, tempat dan waktu. Pendidikan yang terutama dianggap sebagai transfer kebudayaan, pengembangan ilmu pengetauan akan membawa manusia mengerti dan memahami lebih luas tentang masalah seperti itu. Dengan demikian, ilmu pengetahuan memiliki nilai-nilai praktis di dalam kehidupan, baik sebagai pribadi maupun sebagai warga masyarakat.
3. Masalah Rohani dan Jasmani
Terlalu banyak sebutan yang diberikan untuk makhluk-makhluk berakal ciptaan Tuhan , seperti homo sapiens, homo rasionali ,animal social ,al-insan, dan lain sebagainya. Bentuk sebutan tersebut mencerminkan keragaman sifat dan sikap manusia. Hal itu dapat terjadi karena di dalam diri manusia itu sendiri terdapat enam rasa yang menjadi satu, yaitu intelek, agama, susila, sosial, seni dan harga diri atau sifat keakuan (Muhaimin,1989:63).
Maka, tidak heran kalau sejak dulu manusia tiada henti-hentinya berusaha membedakan antara unsur manusia yang bersifat lahiriah dan maknawiah. Kebanyakan ahli filsafat Yunani bependapat bahwa roh itu merupakan satu unsur yang harus yang dapat meninggalkan badan. Jika pergi dari badan, dia kembali ke alamnya yang tinggi , meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan Phytagoras kepada Diasgenes(Umar,1984:223).
Islam berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan perakitan antara badan dan roh. Islam mengatakan dengan tegas bahwa kedua substansi ini adalah substansi alam (Zuhairini, 1992:75). Islam memandang permasalahan roh merupakan suatu hal yang terbatas untuk dipelajari secara mendalam (QS al-Isra:85). Karena itu, kendati banyak ilmu yang telah dimiliki, manusia sampai kapan pun ia tidak akan bisa melebihi Tuhannya (Basalamah, 1993: 155).

Daftar Pustaka
Jalaluddin dan Abdullah Idi. 2012. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar