Selasa, 16 September 2014
Senin, 08 September 2014
Teman Surgaku, Itukah Kamu Akhi?
Seperti bunga mawar yang terus merekah di kala pagi
hari mulai tersenyum.
Seperti tetesan embun yang sejuk di kala pagi mulai
menyambut datangnya siang.
Seperti hembusan angin yang menusuk jari jemari di
kala malam mulai menyambut.
Dengan kehadiran bulan laksana dunia menjadi terang.
Dengan kehadiran bintang laksana dunia menjadi lebih
bersinar.
Duhai.... sang pemilik waktu. Begitu indah dunia
yang Engkau ciptakan untuk umat-Mu.
Begitu terasa madu dunia ketika segalanya menjadi
manis.
Begitu terasa pahit, kala tak mampu menghargai hidup.
Duhai qalbu yang selalu dibolak-balikkan sang
pemilik waktu.
Jika hati yang Engkau titipkan dalam tubuh yang
lemah ini, sudah dapat menikmati secawan madu. Alirilah madu dunia itu dengan
syair-syair indah-Mu. Agar ku mampu setiap detak tarikan nafas ini, mengucap
rasa syukur atas nikmat-Mu, dalam keadaan apapun. Ajari hati ini ya Robbi untuk
terus menerapakan rasa ikhlas di setiap langkahku menuju ridlo-Mu.
Begitulah
dunia yang indah dengan balutan seulas senyum dan kasih sayang yang tak mampu terbalaskan
oleh apapun, seorang wanita yang paling berharga di pelupuk mata indahku, yaitu
ummiku. Hanifah, wanita inspiratif bagiku, wanita tercantik yang pernah aku
temui dalam dunia ini. Wanita yang penuh dengan kasih sayang nan cinta. Beliau
adalah ummiku.
Suara
adzan subuh begitu menggelegar terdengar didasar telingaku, sehingga mengganggu
tidur khusukku di malam yang indah ini. Suara yang merdu terdengar sayup-sayup
di telingaku. “Syifa, bangun sayang sudah subuh waktunya kita sholat, abah dan kakakmu dah nunggu kita.”
suara ummiku begitu jelas terdengar di telingaku.
“Iya mi. Bentar
Syifa baru ngumpulin nyawa nich”. Dengan
tanpa daya Syifa mengeluarkan kata-kata tersebut. Begitu sibuk aktivitas kuliah,
sehingga membuatnya terlalu lelap dalam tidur indahnya.
Syifa
menyeka matanya barangkali masih ada kotoran yang menempel, dengan langkah yang
gontai Syifa mengambil air wudhu untuk menjalankan kewajibannya sebagai hamba Allah, yaitu melaksanakan
sholat subuh berjama’ah dengan keluarga yang begitu penuh dengan
keharmonisan. Dalam do’a, Syifa memohon
kepada sang pemilik waktu “ Ya Robbi dengan-Mu aku merasakan nyaman dan
dengan-Mu pula aku merasakan tenang. Ku hanyalah manusia biasa yang lemah akan
hatinya, hiasi keluargaku dengan bait-bait syair merdu-Mu Ya Robbi. Teruslah
ingatkan kami jika kami mulai lalai dalam kewajiban kami sebagai hamba-Mu. Ku
percaya, Engkau tidak pernah tidur melainkan Engkau merencanakan sesuatu yang
jauh lebih indah daripada bayanganku. Suatu saat ku yakin indah pada waktunya.
Jika embun bening kami mulai menetes, izinkanlah embun itu untuk menetes
membasahi pipi kami, untuk mengingat dosa-dosa yang pernah kami lakukan.
Lindungilah keluarga tercintaku ya Robbi. Mereka merupakan harta terbesar dalam
hidupku. Aminnnnn”
Setelah
selesai, tak lupa rutinitas yang selalu Syifa lakukan sehabis sholat subuh
yaitu membaca kalam qur’an Allah dengan syair yang begitu indah. Sholat subuh
pun selesai, seperti biasa Syifa bantu-bantu pekerjaan rumah menyiapkan sarapan
pagi untuk abah dan keluarga.
“Mi, Syifa
berangkat kuliah dulu ya”. Ucap Syifa sambil mencium punggung tangan ummi dan
abahnya yang mulai keriput di makan usia.
“Iya sayang. Hati-hati di jalan, dianter sama
kak Joni kan?” Balas ummi.
“Iya lah mi,
kalau gak dianter kak Joni terus Syifa suruh jalan kaki mi. Emang ummi tega
melihat putri tercantiknya panas-panas jalan kaki”. Sanggah Syifa.
“Hehehe..yah,
itung-itung sambil olahraga sayang”. Balas ummi.
“Achh ummi nich,
kak ayo dong berangkat sudah mepet nich jamnya”. Ucap Syifa kepada kakaknya.
“Bentar dong”.
Balas kak Joni sambil menimang-nimang buah hati tercintanya.
Keluarga
yang begitu berharga nan indah selalu dipenuhi dengan senyuman manis, dengan
kehadiran seorang baby laki-laki yang begitu sangat lucu nan imut menambah
kebahagiaan di tengah-tengah keluarga mereka, yaitu seorang baby hasil buah
cinta kak Joni dan mbak Annis. Baby yang baru berusia beberapa bulan dengan
tangisan yang sangat merdu menambah beribu-ribu kebahagian di dalam istana
tersebut. Kini Syifa menuntut ilmu di sebuah Universitas terkemuka di kota Semarang
dengan fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Pendidikan Guru
Sekolah Dasar. Karena basic dari Syifa menyukai anak-anak kecil. Sedangkan sang
kakak tercinta, menjadi seorang guru SMA tetap di salah satu institut sekolahan
ternama di Kota Semarang.
Sesampai di
kampus langsung disibukkan dengan tugas yang menumpuk.
“Kalau gue
begini terus ngerjain tugas seabrek, bisa kecil nih badan gue” ucap Rita.
“Hahaha”. Semua
temen-temen yang ada disekitar tertawa bersama.
“Kamu itu,
ada-ada ajalah Rit, masak Cuma ngerjain tugas seperti itu badan bisa kurus”.
Balas Anggun.
“Ya siapa tau”.
Ucap Rita lagi.
“Ayo, sudah jam
kuliah nih”. Sanggah Rizal.
Minggu
pertama sekaligus hari pertama sudah begitu di sibukkan dengan jadwal kuliah
yang begitu padatnya pada hari Senin. Jam kuliah pun selesai saatnya para
mahasiswa melonggarkan pikiran sejenak, setelah menghadapi perkuliahan pada
hari ini. Saatnya mereka melepas lelah di istana masing-masing.
“Fa, aku pulang
dulu ya, kamu gimana pulangnya”. Sapa Ninda.
“Belum tau nih,
kakakku sedari tadi ku sms tidak ada balasan. Udah kamu pulang dulu aja gax
pa-pa Nin”. Balas Syifa.
“Oke deh,
hati-hati ya Fa”. Ucap Ninda.
“Kak, Syifa dah
selesai kuliah nih, kak Joni pulang kapan, jam berapa?”. Kata-kata itu di tulis
Syifa melalui sms yang dikirim untuk kakaknya.
Selang beberapa
menit hp Syifa bergetar.
“Aduh Fa maaf
ya, kakak tidak bisa jemput kamu nih kakak masih ada kerjaan di sekolahan, kamu
pulang dulu aja gih” balas kak Joni melalui sms.
“Ya udah, Syifa
pulang dulu, sendiri dong Syifa” Balas Syifa.
“Hehehe maaf ya.
Sampaikan ke ummi dan abah sekalian, kakak pulangnya agak malem karena ada
tugas. Tadi kak Joni dah sms mbak Annis”. Balas kak Joni lagi melalui sms.
Sms
dari sang kakak sudah mulai tak di balas lagi oleh Syifa. Kini Syifa mulai
melangkahkan kaki mungilnya menuju rumah, toh lagian dekat sekitar 20 menitan
dari kampus hingga persinggahan istana terindahnya. “Itung-itung olahraga apa
kata ummi”. Dalam hati Syifa menggumam.
Dengan
penuh semangat Syifa melangkahkan kakinya menuju istananya. Tiba-tiba langkah
Syifa di hentikan oleh suatu pemandangan yang sangat indah di depan matanya,
yaitu sebuah masjid yang penuh dengan anak-anak kecil yang belajar membaca
iqro’dan al-qur’an, tentunya di pandu oleh seorang pria yang mahir dalam bidang
agama. Berhubung waktu sudah menunjukkan untuk sholat maghrib, Syifa berpikiran
untuk sejenak melangkahkan kaki menuju masjid tersebut, untuk menyempatkan
sedikit waktunya melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah. Setelah selesai
sholat maghrib berjama’ah anak-anak yang belajar agama (TPA) tersebut keburu melangkahkan
kaki untuk pulang menuju istananya masing-masing. Kebetulan si ustad masih berada
di dalam masjid rumah terindah bagi umat islam. Dengan rasa penasaran ku
langkahkan kakiku menuju peristirahatan ustad tersebut.
“Assalamu’alaikum
akhi”. Sapa Syifa.
“Wa’alaikumsalam
ukhti, ada yang bisa akhi bantu?”. Balas sang ustad.
“Perkenalkan
nama saya Syifa. Kalau boleh saya tau, akhi di sini mengajar adek-adek tadi
belajar agama atau TPA ya?”. Balas Syifa lagi.
“Iya ukhti, saya
di sini sedikit mengamalkan pengetahuan yang saya miliki kepada anak-anak yang
tinggal disekitar sini. Siapa tau ilmu yang saya amalkan dapat bermanfaat bagi
mereka di dunia maupun di akhirat nanti. Jika pengetahuan agama sudah diajarkan
kepada anak sejak usia dini, insya allah ke depannya akan membuahkan hasil
penerus bangsa yang sholeh maupun sholehah”. Ucap sang ustad panjang lebar.
“Owh begitu,
baik sekali hatimu akhi mau mengamalkan ilmu yang akhi punya”. Balas Syifa.
“Ah,,, sudah
kewajiban kita untuk mengamalkan ilmu yang kita punya kepada orang lain, entah
itu ilmu apapun baik dalam bidang dunia pendidikan formal maupun bidang
keagamaan sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat muslim untuk mengamalkannya
kepada orang lain”. Balas sang ustad.
“Owh iya ya.
Maaf sebelumnya nama akhi siap?” Sanggah Syifa sambil garuk-garuk kepala.
“Panggil saja
Habib”. Balas sang ustad.
Setelah
peristiwa indah itu, entah mengapa Syifa terbayang-bayang akan kebaikan hati
Habib tentunya juga dengan wajah yang begitu sangat bercahaya seperti rembulan
di langit kala malam hari, begitu mempesona, begitu menawan dan terlihat
senyuman yang merekah di bibirnya begitu manis dan tulus. Dalam benak pikiran
Syifa tiada henti-hentinya memutar memory mengenai peristiwa tersebut.
Waktu
sudah menunjukkan pukul 19.10 waktunya melaksanakan sholat isya’. Seperti biasa,
jika melaksanakan sholat lima waktu selalu berjama’ah dengan keluarga, jika
abah tidak di rumah kak Joni lah yang jadi imam untuk keluarga. Setelah selesai
sholat isya’ berjam’ah, tak lupa Syifa melantunkan kalam qur’an Allah karena
sehabis maghrib tak sempat Syifa tuk melantunkannya. Dengan suara yang merdu
dengan syair yang begitu indah kalam qur’an Allah diucapkan Syifa dengan
hati-hati agar tajwid dan mahrojnya tidak keliru. Tiba-tiba entah mengapa Syifa
menghentikan bacaannya, karena bayangan Habib menari-nari dalam al-qur’an yang
Syifa lantunkan.
Astaghfirullah,
buru-buru Syifa membuang bayangan tersebut. Tak mau jika kalam qur’an yang
dilantunkan tersebut tidak menjadi berkah untuknya. Tanpa pikir panjang Syifa
menyudahi bacaan al-qur’annya.
“Ummi, Syifa
boleh cerita sedikit dengan ummi”. Sapa Syifa kepada umminya yang duduk di
teras rumah.
“Iya sayang,
sini duduk dekat ummi. Mau cerita apa?” balas ummi dengan penuh kasih sayang.
“Mi, Syifa mulai
tak jenak akhir-akhir ini. Syifa terus terbayang-bayang wajah Habib mi. Syifa
harus gimana mi?” Ucap Syifa dengan memelas.
Semenjak
pertemuan indah itu, Syifa menceritakan semua kepada umminya. Syifa memang tipe
wanita yang terbuka kepada keluarga khusunya kepada sang ummi.
“Walah-walah,
anak ummi sudak mulai jatuh cinta to, hehehe”. Balas ummi.
“Ach ummi nih
ngeledekin. Syifa bingung mi, pikiran Syifa tak menentu terbayang-bayang terus
wajah Habib mi”. Ucap Syifa.
“Sayang, sholat
lah istikarah terlebih dahulu nak. Jika memang dalam sholatmu itu bayangan
Habib yang kamu lihat, insya allah dia jodohmu. Tapi ndak baik jika terlalu
larut memikirkan seorang kamu adam, kalau jodoh tak akan ke mana. Ingat tugasmu
nak, ingat tanggungjawabmu di kampus.” Balas ummi panjang lebar.
“Iya mi, Syifa
tak akan lupa dengan tugas dan tanggungjawab Syifa. Insya allah Syifa bisa
melawan rasa ini. Jika jodoh dengan cara apapun Allah pasti mempersatukan Syifa
dengan Habib. Do’akan Syifa mi, agar Syifa dapat memilih langkah yang tepat”.
Ucap Syifa penuh harapan.
“Amin”. Serentak
Syifa dan ummi mengucapkan kata-kata tersebut.
Esok
haripun tiba. Saatnya Syifa menuntut ilmu di universitas yang digeluti saat
ini. Selama kurang lebih dua bulan ini, Syifa tak melihat Habib sama sekali.
Datang ke masjid yang biasanya, Habib pun juga tak menunjukkan batang
hidungnya. Syifa mulai resah hatinya, “ke mana akhi Habib sebenarnya, beberapa bulan
ini aku tak melihat wajahnya, padalah aku ingin sekali bertemu dengannya”.
Pekik Syifa dalam hati.
Begitu
girangnya hati Syifa melihat seseorang yang berada di masjid tersebut, seperti
biasa kegiatan mengajarkan anak-anak baca tulis al-qur’an, berharap sosok itu
adalah Habib. Ternyata dugaan Syifa meleset yang menjadi ustad bukannya Habib
melainkan orang lain. Setelah selesai pembelajaran baca tulis al-qur’an, Syifa
menghampiri sang ustad tersebut.
“Assalamu’alaikum
akhi”. Sapa Syifa.
“Wa’alaikumsalam
ukhti ada yang bisa akhi bantu”. Balas sang ustad.
Terkejutnya
minta ampun, Syifa begitu syok melihat pemandangan yang berada di hadapannya
kini. Wajah, cara bicaranya sungguh mirip sekali dengan Habib. Tiba-tiba mulut
mungil Syifa serasa terkunci tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
“Astaghfirullah,
akhi Habib?” Ucap Syifa.
“Maaf ukhti,
saya bukan Habib. Saya Hilal”. Balas ustad tadi.
“Mana mungkin,
akhi begitu sangat mirip dengan akhi Habib”. Ucap Syifa yang mulai meneteskan
embun bening dipelupuk mata indahnya.
“Sebentar ukhti,
ini ukhti Syifa bukan?”. Balas Hilal.
“Mengapa akhi
tau nama saya. Dari mana akhi mengetahuinya”. Ucap Syifa terbata-bata.
“Maaf ukhti,
sebenarnya saya saudara kembar dari akhi Habib”. Ucap Hilal.
“Subhanallah.
Sungguh sangat terkejutnya hati Syifa. Sekarang akhi Habib di mana Hilal aku
ingin sekali bertemu dengannya”. Ucap Syifa dengan tetesan embun bening yang
mulai mengguyur pipi merah meronanya.
“Tenangkan
dirimu dahulu ukhti. Ini ada selembar kertas untuk ukhti. Akhi Habib memberi
amanah kepadaku jika aku bertemu denganmu, untuk menyerahkan kertas tersebut
kepadamu”. Balas Hilal dengan menyerahkan selembar kertas kepada Syifa.
Sampai
lupa Syifa mengucapkan terima kasih kepada Hilal atas pemberian dari Habib.
Dengan terbutu-buru Syifa mengundurkan diri minta pamit untuk pulang ke istananya,
tak lupa Syifa menitipkan salam untuk keluarga Habib lewat Hilal. Dengan rasa
yang sangat penasaran, Syifa melangkahkan kaki dengan membawa secarik kertas
yang diberikan Hilal. Sesampai di rumah, untuk membuktikan rasa penasarannya
Syifa langsung membuka selembar kertas tersebut dengan hati-hati. Kata demi
kata Syifa mulai membaca surat dari Habib, karena tak mau melewatkan satu kata
pun yang ditulis Habib untuknya.
To: Ukhti Syifa
Sungguh begitu indah dunia ini, kehadiran seorang
bidadari surga yang begitu sholehah sepertimu ukhti. Semenjak kali pertama kita
bertemu di rumah Allah, aku tak bisa membohongi perasaan ini ukhti. Bayangan
ukhti terus menari-nari di pelupuk mataku. Sholatku pun sudah mulai tak khusuk
lagi, ketika bayangan ukhti terlintas dalam benakku. Sungguh engkau wanita
tercantik yang pernah aku temui ukhti Syifa, dengan balutan kerudung yang
menempel di kepalamu menambah mempesona parasmu. Nada suaramu begitu terngiang
dalam dasar telingaku. Walaupun cuma pertama kali mata kita bertemu, ku yakin
rasa yang aku alami sungguh begitu hebat. Sehingga allah begitu cemburu
kepadamu, karena sepertinya aku sudah mulai menaruh hatiku kepadamu. Ukhti,
setiap malam bayangan ukhti terus melintasi kalam qur’an yang ku lantunkan. Ku
hanya bisa berharap ukhti kepada sang pemilik takdir, jika kita berjodoh suatu
saat kita pasti akan dipertemukan kembali dengan cara apapun.Ukhti Syifa
percaya itu? Ukhti, afwan jika aku menaruh hatiku kepadamu. Afwan, jika aku
telah mengganggu kekhusukan hidupmu. Jika ukhti sudah membaca lembar per lembar
dari kata-kata ini, maaf beribu maaf jika aku tak sanggup membangunkan ukhti
taman surga di dunia Allah yang penuh dengan skenario ini. Sang pemilik takdir
sudah lebih dulu memanggil aku untuk terus teristirahat di dekat-Nya. Ukhti,
jangan kau teteskan embun bening itu dari pelupuk matamu. Ku yakin ukhti mampu
bahagia di dunia Allah, walaupun ku ingin sekali mengkhitbahmu. Kecelakaan maut
itu membuat aku tak sanggup lagi untuk bernafas ukhti. Setelah beberapa hari ku
tak membuka mata indahku, ku berjumpa denganmu ukhti betapa bahagianya hati
ini. Tetapi setelah ku sadar dari tidurku beberapa hari ku menulis kata-kata
ini untukmu ukhti, sebelum bibirku ini tak sanggup lagi untuk mengucap kata
cinta kepadamu, ku titipkan pula secarik kertas ini kepada adikku Hilal, jika
ia bertemu denganmu suatu saat nanti. Tapi ku yakin ukhti pasti engkau mencari
diriku. Di luar sana, ada seorang pangeran yang menanti dan menunggumu ukhti,
mambangunkan ukhti taman surga dunia, membimbing ukhti menuju ridlo sang
pemilik takdir, beliau adalah Hilal saudara kembarku. Ukhti, maafkan aku yang
belum sempat mengkhitbahmu untuk menjadikan mu bidadari surgaku, tetapi sungguh
ukhti lelaki ini mampu membimbing ukhti menuju surga-Nya.
From : Habib
Setelah
membaca lembar per lembar dari surat yang diberikan Hilal, bagaikan disambar
petir yang menggelegar menyayat hati Syifa. Lelaki yang diharapkan kini telah
berbaring selamanya di surga Allah. Lelaki yang selalu didambakan mampu
membangunkan taman surga, kini hancur sudah dambaan Syifa. Tubuh Syifa lemas
tak berdaya, tiba-tiba Syifa jatuh tak sadarkan diri.
“Syifa bangun
sayang, kamu kenapa?”. Teriak ummi dengar histeris takut jika sang permata hati
terjadi apa-apa.
“Tenang mi,
pasti Syifa bangun”. Balas abah.
Beberapa
menit kemudian Syifa membuka mata indahnya. Dengan tetesan airmata, Syifa terus
memeluk umminya dengan erat. Tak sanggup jika hati Syifa mengingat Habib lelaki
yang pernah di cintainya.
“Ummi, hati
Syifa hancur mi hati Syifa menangis mi. Syifa tak punya daya lagi mi untuk
hidup”. Ucap Syifa dengan linangan airmata.
“Sayang, sabar
mungkin Allah merencanakan yang jauh lebih indah. Yakinlah itu, pasti Habib di
sana tersenyum jika melihatmu bahagia di dunia ini”. balas ummi.
“Bagaimana Syifa
bisa bahagia dan tersenyum mi, lelaki yang pernah Syifa cintai kini dia tak
pernah akan terlihat lagi di pelupuk mataku”. Sanggah Syifa.
“Allah tak
menyukai umatnya yang terus bersedih berlebihan, abah tahu betapa hancurnya
hatimu, tapi tak baik nak jika terus seperti itu. Kamu harus bangun menyongsong
hidup baru. Allah menciptakan pangeran untukmu yang jauh lebih sempurna”. Ucap
Abah yang sedari tadi diam melihat permata hatinya tak semangat lagi untuk
hidup.
Lima
bulan sudah berlalu, kini hidup Syifa tetap sama diliputi rasa yang terus ingin
bertemu dengan Habib. Rasa cinta yang tak mampu dapat tersampaikan. Senyum
indah yang dahulu terus merekah bak bunga mawar, kini senyum itu hilang
seketika dengan kepergian Habib lelaki yang memikat qalbunya. Hari-hari Syifa
selalu diiringi dengan tangisan dalam hati lembutnya.
Suatu
ketika Hilal berkunjung ke singgasana rumah Syifa yang begitu megah bermaksud
untuk mengkhitbah. Dengan hati yang ridlo dan tulus Hilal menginjakkan kaki
mungilnya itu menuju istana rumah Syifa.
“Assalamu’alaikum”.
Ucap Hilal dari balik pintu.
“Wa’alaikumsalam”.
Balas ummi Hanifah
Setelah
ummi Hanifah mempersilahkan Hilal untuk duduk di ruang tamu, kini sangatnya lah
Hilal mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya, tak lain adalah mengkhitbah
Syifa atas amanah sang kakak yaitu Habib. Walaupun tanpa amanah sang saudara
kembar entah mengapa Hilal terus terbayang-bayang akan wajah cantik Syifa, walaupun
hanya pertama kali bertatapan mata. Tak lupa pula Hilal untuk sholat istikarah
meminta petunjuk kepada sang pemilik waktu. Sungguh betapa indah skenario-Nya,
Hilal begitu yakin jika Syifa adalah bidadari yang diciptakan Allah untuknya
karena bayangan wajah Syifa terus hadir dalam sholat istikarahnya.
“Perkenalkan
nama saya Hilal, adik dari Habib tentu ibu sudah mengetahui bukan tentang Habib
dan saudara kembarnya. Maaf bu, jika kedatangan saya membuat keluarga ini
menjadi bingung. Saya Hilal ingin sekali mengkhitbah permata indah dari keluarga
ini, yaitu Syifa. Izinkan aku untuk membangunkan Syifa taman surga menuju ridlo
sang pemilik takdir.” Ucap Hilal panjang lebar dengan rasa percaya diri.
Semua keluarga
terdiam seketika tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, termasuk Syifa.
“Maaf nak,
bukannya kami menolak khitbahanmu tetapi semua itu terserah putri kami. Seperti
yang anda ketahui kini Syifa telah kehilangan saudaramu Habib laki-laki yang
sangat diharapkan oleh Syifa. Bagaimana mungkin jika kamu ingin mengkhitbah
putriku, dengan masa lalu putriku seperti itu, atas dasar apa anda
mengkhitbahnya?” ucap abah Syifa panjang lebar.
“Maaf
sebelumnya, saya sungguh sangat begitu yakin jika Syifa merupakan bidadari yang
Allah hadirkan untuk saya. Dengan amanah Habib yang menyuruhku untuk menjaga
Syifa, untuk membangunkan taman surga di dunia ini dan menuntun Syifa menuju
ridlo Allah. Tanpa amanah dari Habib pun, insya allah saya yakin jika Syifa
memang dihadirkan untuk saya, karena setelah saya melaksanakan sholat istikarah
bayangan Syifa terus terlihat dalam sholat indahku”. balas Hilal panjang lebar.
“Akhi, maaf
sebelumnya. Aku tak sanggup lagi untuk membuka hati ini untuk orang lain.
Sungguh begitu rapuhnya hati yang lemah ini. Afwan, aku terus masih teringat
tentang kakakmu Habib. Maaf akhi, jika aku masih bersikap seperti ini. Ku takut
jika aku menjadi surga duniamu, ku tak bisa mengabdi sepenuhnya kepadamu karena
hatiku yang masih terus mengingat kakakmu”. Sanggah Syifa yang sedari tadi diam
tak mengutarakan sepatah katapun.
“Tenang ukhti,
aku juga tak minta jawaban ukhti sekarang juga. Sholatlah istikarah terlebih
dahulu agar ukhti mampu menjawab semua ini. Ku akan menunggu ukhti sampai
hatimu siap menerima aku sebagai pangeran dalam hidupmu”. Ucap Hilal dengan
percaya diri.
Satu tahun
kemudian.
Begitu
terkejutnya hati Syifa mendengar berita di mading yang ada di kampusnya. Yang
menjadi pembicara dalam acara seminar nasional pada hari ini yaitu Hilal
Abdullah mengenai “Tata Cara Bergaul Anak Muda Zaman Sekarang”.
Acara
seminar pun di mulai. Kini Syifa ikut mendaftar sebagai peserta on the spot,
karena ingin melihat Hilal sekaligus melihat kemampuan yang ia miliki. Beberapa
menit kemudian acara inti dimulai. Hilal begitu sangat berwibawa dan memikat
hati para kaum hawa dengan tema yang diangkat menjadikan ia semakin dicintai
khusunya kalangan kaum hawa. Hadist yang ia sampaikan begitu pas dan menyentuh
hati jika kalam qur’an yang dilantunkan Hilal diucapkan.
Beberapa
jam sudah acara selesai. Para peserta terus datang menemui Hilal untuk minta tanda
tangannya. Kini Syifa duduk di pojok mengamati Hilal. Setelah beberapa menit
berlalu, para peserta sudah mulai meninggalkan acara. Syifa melangkahkan kaki
menuju persinggahan Hilal. Hilal terkejut, tak diduga ternyata Syifa ada di dekatnya.
“Assalamu’alaikum
akhi Hilal. Nanti akhi bisa datang ke rumah Syifa?”. Ucap Syifa dengan
malu-malu.
“Wa’alaikumsalam,
insya allah Syifa akhi usahakan datang ke istanamu”. Balas Hilal dengan
senyuman yang terus merekah di bibir indahnya.
Malam
pun datang. Rembulan terus tersinar menyinari malam hari yang gelap.
Seakan-akan rembulan tahu betapa bahagianya hati Hilal sekarang. Karena dihati
Hilal yakin, bahwa Syifa akan menerima khitbahannya. Dengan mengendarai
mobilnya, kini Hilal menuju istana Syifa. Tak lupa Hilal meminta do’a restu
kepada ummi dan abahnya.
“Assalamu’alaikum”.
Ucap Hilal.
“Wa’alaikumsalam
akhi”. Balas Syifa. Kebetulan Syifa sendiri yang membuka pintu.
Syifa
mempersilangkah kan Hilal untuk menginjakkan kakinya menuju ruang tamu. Dengan
disambut keluarga besar dari Syifa, menambah gugup hati Hilal dan jantung terus
berdetak dengan cepat.
“Nak, apa kabar
kamu”. Sapa abah Syifa membuka percakapan untuk mencairkan suasana.
“Alhamdulillah.
Saya baik-baik saja bah”. Balas Hilal dengan gugup
Kini Syifa yang
membuka suara, mengeluarkan kata-kata indahnya dengan didampingi keluarga
besar.
“Akhi Hilal,
afwan akhi. Jika akhi menunggu jawaban dari Syifa terlalu lama. Syifa perlu
memantapkan hati terlebih dahulu. Syifa perlu sholat istikarah terlebih dahulu
meminta petunjuk kepada sang pemilik waktu. Ku ucapkan dengan kata Bismillah
aku menerima khitbahan darimu akhi”. Ucap Syifa dengan lantang.
Begitu sangat
terkejutnya hati Hilal. Bagaikan denyut nadi yang seketika berhenti mengalir.
“Alhamdulillah,
terima kasih ya Robbi, apa yang mendorong ukhti menerima khitbahanku?”. Ucap
Hilal dengan hati yang tersenyum.
“Waallahu ‘alam
akhi. Selama aku sholat istikarah meminta petunjuk kepada sang pemilik waktu.
Bayangan akhi terus terlintas dalam sholat khusukku. Selain itu, kemarin akhi
menjadi pembicara untuk seminar nasional, menjadikan hati ini semakin mantap
untuk menerimamu sebagai pangeran terindah dalam hidupku . Ku yakin akhi mampu
menuntunku menuju ridlo sang pemilik takdir.” Balas Syifa panjang lebar.
Semua
keluarga tersenyum mendengar berita indah tersebut. Seperti bulan yang terus
tersenyum menyinari malam hari, sepertinya bulan ikut merasakan kebahagian
ditengah-tengah keluarga besar tersebut. Setelah satu tahun menunggu kelulusan
Syifa, kini Syifa dan Hilal menjadi sepasang merpati dalam dunia yang penuh
dengan skenario sang pemilik waktu. Seorang pangeran yang mampu membangunkan taman
surga dan dunia. Seorang pangeran yang sangat menawan dan mencuri hati sang
permaisuri dengan kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.Seorang
pangeran yang diciptakan sang pemilik takdir untukku, untuk menuntunku
membangunkan taman surga menuju ridlo-Mu. Skenario yang sangat indah yang begitu
memperindah hidup di dunia ini.
***the end***
Langganan:
Postingan (Atom)