Senin, 08 September 2014

Teman Surgaku, Itukah Kamu Akhi?



Seperti bunga mawar yang terus merekah di kala pagi hari mulai tersenyum.
Seperti tetesan embun yang sejuk di kala pagi mulai menyambut datangnya siang.
Seperti hembusan angin yang menusuk jari jemari di kala malam mulai menyambut.
Dengan kehadiran bulan laksana dunia menjadi terang.
Dengan kehadiran bintang laksana dunia menjadi lebih bersinar.
Duhai.... sang pemilik waktu. Begitu indah dunia yang Engkau ciptakan untuk umat-Mu.
Begitu terasa madu dunia ketika segalanya menjadi manis.
Begitu terasa pahit, kala tak mampu menghargai hidup.
Duhai qalbu yang selalu dibolak-balikkan sang pemilik waktu.
Jika hati yang Engkau titipkan dalam tubuh yang lemah ini, sudah dapat menikmati secawan madu. Alirilah madu dunia itu dengan syair-syair indah-Mu. Agar ku mampu setiap detak tarikan nafas ini, mengucap rasa syukur atas nikmat-Mu, dalam keadaan apapun. Ajari hati ini ya Robbi untuk terus menerapakan rasa ikhlas di setiap langkahku menuju ridlo-Mu.
Begitulah dunia yang indah dengan balutan seulas senyum dan kasih sayang yang tak mampu terbalaskan oleh apapun, seorang wanita yang paling berharga di pelupuk mata indahku, yaitu ummiku. Hanifah, wanita inspiratif bagiku, wanita tercantik yang pernah aku temui dalam dunia ini. Wanita yang penuh dengan kasih sayang nan cinta. Beliau adalah ummiku.
Suara adzan subuh begitu menggelegar terdengar didasar telingaku, sehingga mengganggu tidur khusukku di malam yang indah ini. Suara yang merdu terdengar sayup-sayup di telingaku. “Syifa, bangun sayang sudah subuh waktunya  kita sholat, abah dan kakakmu dah nunggu kita.” suara ummiku begitu jelas terdengar di telingaku.
“Iya mi. Bentar Syifa baru ngumpulin nyawa nich”.  Dengan tanpa daya Syifa mengeluarkan kata-kata tersebut. Begitu sibuk aktivitas kuliah, sehingga membuatnya terlalu lelap dalam tidur indahnya.
Syifa menyeka matanya barangkali masih ada kotoran yang menempel, dengan langkah yang gontai Syifa mengambil air wudhu untuk menjalankan  kewajibannya sebagai hamba Allah, yaitu melaksanakan sholat subuh berjama’ah dengan keluarga yang begitu penuh dengan keharmonisan.  Dalam do’a, Syifa memohon kepada sang pemilik waktu “ Ya Robbi dengan-Mu aku merasakan nyaman dan dengan-Mu pula aku merasakan tenang. Ku hanyalah manusia biasa yang lemah akan hatinya, hiasi keluargaku dengan bait-bait syair merdu-Mu Ya Robbi. Teruslah ingatkan kami jika kami mulai lalai dalam kewajiban kami sebagai hamba-Mu. Ku percaya, Engkau tidak pernah tidur melainkan Engkau merencanakan sesuatu yang jauh lebih indah daripada bayanganku. Suatu saat ku yakin indah pada waktunya. Jika embun bening kami mulai menetes, izinkanlah embun itu untuk menetes membasahi pipi kami, untuk mengingat dosa-dosa yang pernah kami lakukan. Lindungilah keluarga tercintaku ya Robbi. Mereka merupakan harta terbesar dalam hidupku. Aminnnnn”
Setelah selesai, tak lupa rutinitas yang selalu Syifa lakukan sehabis sholat subuh yaitu membaca kalam qur’an Allah dengan syair yang begitu indah. Sholat subuh pun selesai, seperti biasa Syifa bantu-bantu pekerjaan rumah menyiapkan sarapan pagi untuk abah dan keluarga.
“Mi, Syifa berangkat kuliah dulu ya”. Ucap Syifa sambil mencium punggung tangan ummi dan abahnya yang mulai keriput di makan usia.
 “Iya sayang. Hati-hati di jalan, dianter sama kak Joni kan?” Balas ummi.
“Iya lah mi, kalau gak dianter kak Joni terus Syifa suruh jalan kaki mi. Emang ummi tega melihat putri tercantiknya panas-panas jalan kaki”. Sanggah Syifa.
“Hehehe..yah, itung-itung sambil olahraga sayang”. Balas ummi.
“Achh ummi nich, kak ayo dong berangkat sudah mepet nich jamnya”. Ucap Syifa kepada kakaknya.
“Bentar dong”. Balas kak Joni sambil menimang-nimang buah hati tercintanya.
Keluarga yang begitu berharga nan indah selalu dipenuhi dengan senyuman manis, dengan kehadiran seorang baby laki-laki yang begitu sangat lucu nan imut menambah kebahagiaan di tengah-tengah keluarga mereka, yaitu seorang baby hasil buah cinta kak Joni dan mbak Annis. Baby yang baru berusia beberapa bulan dengan tangisan yang sangat merdu menambah beribu-ribu kebahagian di dalam istana tersebut. Kini Syifa menuntut ilmu di sebuah Universitas terkemuka di kota Semarang dengan fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar. Karena basic dari Syifa menyukai anak-anak kecil. Sedangkan sang kakak tercinta, menjadi seorang guru SMA tetap di salah satu institut sekolahan ternama di Kota Semarang.
Sesampai di kampus langsung disibukkan dengan tugas yang menumpuk.
“Kalau gue begini terus ngerjain tugas seabrek, bisa kecil nih badan gue” ucap Rita.
“Hahaha”. Semua temen-temen yang ada disekitar tertawa bersama.
“Kamu itu, ada-ada ajalah Rit, masak Cuma ngerjain tugas seperti itu badan bisa kurus”. Balas Anggun.
“Ya siapa tau”. Ucap Rita lagi.
“Ayo, sudah jam kuliah nih”. Sanggah Rizal.
Minggu pertama sekaligus hari pertama sudah begitu di sibukkan dengan jadwal kuliah yang begitu padatnya pada hari Senin. Jam kuliah pun selesai saatnya para mahasiswa melonggarkan pikiran sejenak, setelah menghadapi perkuliahan pada hari ini. Saatnya mereka melepas lelah di istana masing-masing.
“Fa, aku pulang dulu ya, kamu gimana pulangnya”. Sapa Ninda.
“Belum tau nih, kakakku sedari tadi ku sms tidak ada balasan. Udah kamu pulang dulu aja gax pa-pa Nin”. Balas Syifa.
“Oke deh, hati-hati ya Fa”. Ucap Ninda.
“Kak, Syifa dah selesai kuliah nih, kak Joni pulang kapan, jam berapa?”. Kata-kata itu di tulis Syifa melalui sms yang dikirim untuk kakaknya.
Selang beberapa menit hp Syifa bergetar.
“Aduh Fa maaf ya, kakak tidak bisa jemput kamu nih kakak masih ada kerjaan di sekolahan, kamu pulang dulu aja gih” balas kak Joni melalui sms.
“Ya udah, Syifa pulang dulu, sendiri dong Syifa” Balas Syifa.
“Hehehe maaf ya. Sampaikan ke ummi dan abah sekalian, kakak pulangnya agak malem karena ada tugas. Tadi kak Joni dah sms mbak Annis”. Balas kak Joni lagi melalui sms.
Sms dari sang kakak sudah mulai tak di balas lagi oleh Syifa. Kini Syifa mulai melangkahkan kaki mungilnya menuju rumah, toh lagian dekat sekitar 20 menitan dari kampus hingga persinggahan istana terindahnya. “Itung-itung olahraga apa kata ummi”. Dalam hati Syifa menggumam.
Dengan penuh semangat Syifa melangkahkan kakinya menuju istananya. Tiba-tiba langkah Syifa di hentikan oleh suatu pemandangan yang sangat indah di depan matanya, yaitu sebuah masjid yang penuh dengan anak-anak kecil yang belajar membaca iqro’dan al-qur’an, tentunya di pandu oleh seorang pria yang mahir dalam bidang agama. Berhubung waktu sudah menunjukkan untuk sholat maghrib, Syifa berpikiran untuk sejenak melangkahkan kaki menuju masjid tersebut, untuk menyempatkan sedikit waktunya melaksanakan kewajiban sebagai hamba Allah. Setelah selesai sholat maghrib berjama’ah anak-anak yang belajar agama (TPA) tersebut keburu melangkahkan kaki untuk pulang menuju istananya masing-masing. Kebetulan si ustad masih berada di dalam masjid rumah terindah bagi umat islam. Dengan rasa penasaran ku langkahkan kakiku menuju peristirahatan ustad tersebut.

“Assalamu’alaikum akhi”. Sapa Syifa.
“Wa’alaikumsalam ukhti, ada yang bisa akhi bantu?”. Balas sang ustad.
“Perkenalkan nama saya Syifa. Kalau boleh saya tau, akhi di sini mengajar adek-adek tadi belajar agama atau TPA ya?”. Balas Syifa lagi.
“Iya ukhti, saya di sini sedikit mengamalkan pengetahuan yang saya miliki kepada anak-anak yang tinggal disekitar sini. Siapa tau ilmu yang saya amalkan dapat bermanfaat bagi mereka di dunia maupun di akhirat nanti. Jika pengetahuan agama sudah diajarkan kepada anak sejak usia dini, insya allah ke depannya akan membuahkan hasil penerus bangsa yang sholeh maupun sholehah”. Ucap sang ustad panjang lebar.
“Owh begitu, baik sekali hatimu akhi mau mengamalkan ilmu yang akhi punya”. Balas Syifa.
“Ah,,, sudah kewajiban kita untuk mengamalkan ilmu yang kita punya kepada orang lain, entah itu ilmu apapun baik dalam bidang dunia pendidikan formal maupun bidang keagamaan sudah menjadi kewajiban kita sebagai umat muslim untuk mengamalkannya kepada orang lain”. Balas sang ustad.
“Owh iya ya. Maaf sebelumnya nama akhi siap?” Sanggah Syifa sambil garuk-garuk kepala.
“Panggil saja Habib”. Balas sang ustad.
Setelah peristiwa indah itu, entah mengapa Syifa terbayang-bayang akan kebaikan hati Habib tentunya juga dengan wajah yang begitu sangat bercahaya seperti rembulan di langit kala malam hari, begitu mempesona, begitu menawan dan terlihat senyuman yang merekah di bibirnya begitu manis dan tulus. Dalam benak pikiran Syifa tiada henti-hentinya memutar memory mengenai peristiwa tersebut.
Waktu sudah menunjukkan pukul 19.10 waktunya melaksanakan sholat isya’. Seperti biasa, jika melaksanakan sholat lima waktu selalu berjama’ah dengan keluarga, jika abah tidak di rumah kak Joni lah yang jadi imam untuk keluarga. Setelah selesai sholat isya’ berjam’ah, tak lupa Syifa melantunkan kalam qur’an Allah karena sehabis maghrib tak sempat Syifa tuk melantunkannya. Dengan suara yang merdu dengan syair yang begitu indah kalam qur’an Allah diucapkan Syifa dengan hati-hati agar tajwid dan mahrojnya tidak keliru. Tiba-tiba entah mengapa Syifa menghentikan bacaannya, karena bayangan Habib menari-nari dalam al-qur’an yang Syifa lantunkan.
Astaghfirullah, buru-buru Syifa membuang bayangan tersebut. Tak mau jika kalam qur’an yang dilantunkan tersebut tidak menjadi berkah untuknya. Tanpa pikir panjang Syifa menyudahi bacaan al-qur’annya.
“Ummi, Syifa boleh cerita sedikit dengan ummi”. Sapa Syifa kepada umminya yang duduk di teras rumah.
“Iya sayang, sini duduk dekat ummi. Mau cerita apa?” balas ummi dengan penuh kasih sayang.
“Mi, Syifa mulai tak jenak akhir-akhir ini. Syifa terus terbayang-bayang wajah Habib mi. Syifa harus gimana mi?” Ucap Syifa dengan memelas.
Semenjak pertemuan indah itu, Syifa menceritakan semua kepada umminya. Syifa memang tipe wanita yang terbuka kepada keluarga khusunya kepada sang ummi.
“Walah-walah, anak ummi sudak mulai jatuh cinta to, hehehe”. Balas ummi.
“Ach ummi nih ngeledekin. Syifa bingung mi, pikiran Syifa tak menentu terbayang-bayang terus wajah Habib mi”. Ucap Syifa.
“Sayang, sholat lah istikarah terlebih dahulu nak. Jika memang dalam sholatmu itu bayangan Habib yang kamu lihat, insya allah dia jodohmu. Tapi ndak baik jika terlalu larut memikirkan seorang kamu adam, kalau jodoh tak akan ke mana. Ingat tugasmu nak, ingat tanggungjawabmu di kampus.” Balas ummi panjang lebar.
“Iya mi, Syifa tak akan lupa dengan tugas dan tanggungjawab Syifa. Insya allah Syifa bisa melawan rasa ini. Jika jodoh dengan cara apapun Allah pasti mempersatukan Syifa dengan Habib. Do’akan Syifa mi, agar Syifa dapat memilih langkah yang tepat”. Ucap Syifa penuh harapan.
“Amin”. Serentak Syifa dan ummi mengucapkan kata-kata tersebut.
Esok haripun tiba. Saatnya Syifa menuntut ilmu di universitas yang digeluti saat ini. Selama kurang lebih dua bulan ini, Syifa tak melihat Habib sama sekali. Datang ke masjid yang biasanya, Habib pun juga tak menunjukkan batang hidungnya. Syifa mulai resah hatinya, “ke mana akhi Habib sebenarnya, beberapa bulan ini aku tak melihat wajahnya, padalah aku ingin sekali bertemu dengannya”. Pekik Syifa dalam hati.
Begitu girangnya hati Syifa melihat seseorang yang berada di masjid tersebut, seperti biasa kegiatan mengajarkan anak-anak baca tulis al-qur’an, berharap sosok itu adalah Habib. Ternyata dugaan Syifa meleset yang menjadi ustad bukannya Habib melainkan orang lain. Setelah selesai pembelajaran baca tulis al-qur’an, Syifa menghampiri sang ustad tersebut.
“Assalamu’alaikum akhi”. Sapa Syifa.
“Wa’alaikumsalam ukhti ada yang bisa akhi bantu”. Balas sang ustad.
Terkejutnya minta ampun, Syifa begitu syok melihat pemandangan yang berada di hadapannya kini. Wajah, cara bicaranya sungguh mirip sekali dengan Habib. Tiba-tiba mulut mungil Syifa serasa terkunci tak bisa mengeluarkan sepatah katapun.
“Astaghfirullah, akhi Habib?” Ucap Syifa.
“Maaf ukhti, saya bukan Habib. Saya Hilal”. Balas ustad tadi.
“Mana mungkin, akhi begitu sangat mirip dengan akhi Habib”. Ucap Syifa yang mulai meneteskan embun bening dipelupuk mata indahnya.
“Sebentar ukhti, ini ukhti Syifa bukan?”. Balas Hilal.
“Mengapa akhi tau nama saya. Dari mana akhi mengetahuinya”. Ucap Syifa terbata-bata.
“Maaf ukhti, sebenarnya saya saudara kembar dari akhi Habib”. Ucap Hilal.
“Subhanallah. Sungguh sangat terkejutnya hati Syifa. Sekarang akhi Habib di mana Hilal aku ingin sekali bertemu dengannya”. Ucap Syifa dengan tetesan embun bening yang mulai mengguyur pipi merah meronanya.
“Tenangkan dirimu dahulu ukhti. Ini ada selembar kertas untuk ukhti. Akhi Habib memberi amanah kepadaku jika aku bertemu denganmu, untuk menyerahkan kertas tersebut kepadamu”. Balas Hilal dengan menyerahkan selembar kertas kepada Syifa.
Sampai lupa Syifa mengucapkan terima kasih kepada Hilal atas pemberian dari Habib. Dengan terbutu-buru Syifa mengundurkan diri minta pamit untuk pulang ke istananya, tak lupa Syifa menitipkan salam untuk keluarga Habib lewat Hilal. Dengan rasa yang sangat penasaran, Syifa melangkahkan kaki dengan membawa secarik kertas yang diberikan Hilal. Sesampai di rumah, untuk membuktikan rasa penasarannya Syifa langsung membuka selembar kertas tersebut dengan hati-hati. Kata demi kata Syifa mulai membaca surat dari Habib, karena tak mau melewatkan satu kata pun yang ditulis Habib untuknya.
To: Ukhti Syifa
Sungguh begitu indah dunia ini, kehadiran seorang bidadari surga yang begitu sholehah sepertimu ukhti. Semenjak kali pertama kita bertemu di rumah Allah, aku tak bisa membohongi perasaan ini ukhti. Bayangan ukhti terus menari-nari di pelupuk mataku. Sholatku pun sudah mulai tak khusuk lagi, ketika bayangan ukhti terlintas dalam benakku. Sungguh engkau wanita tercantik yang pernah aku temui ukhti Syifa, dengan balutan kerudung yang menempel di kepalamu menambah mempesona parasmu. Nada suaramu begitu terngiang dalam dasar telingaku. Walaupun cuma pertama kali mata kita bertemu, ku yakin rasa yang aku alami sungguh begitu hebat. Sehingga allah begitu cemburu kepadamu, karena sepertinya aku sudah mulai menaruh hatiku kepadamu. Ukhti, setiap malam bayangan ukhti terus melintasi kalam qur’an yang ku lantunkan. Ku hanya bisa berharap ukhti kepada sang pemilik takdir, jika kita berjodoh suatu saat kita pasti akan dipertemukan kembali dengan cara apapun.Ukhti Syifa percaya itu? Ukhti, afwan jika aku menaruh hatiku kepadamu. Afwan, jika aku telah mengganggu kekhusukan hidupmu. Jika ukhti sudah membaca lembar per lembar dari kata-kata ini, maaf beribu maaf jika aku tak sanggup membangunkan ukhti taman surga di dunia Allah yang penuh dengan skenario ini. Sang pemilik takdir sudah lebih dulu memanggil aku untuk terus teristirahat di dekat-Nya. Ukhti, jangan kau teteskan embun bening itu dari pelupuk matamu. Ku yakin ukhti mampu bahagia di dunia Allah, walaupun ku ingin sekali mengkhitbahmu. Kecelakaan maut itu membuat aku tak sanggup lagi untuk bernafas ukhti. Setelah beberapa hari ku tak membuka mata indahku, ku berjumpa denganmu ukhti betapa bahagianya hati ini. Tetapi setelah ku sadar dari tidurku beberapa hari ku menulis kata-kata ini untukmu ukhti, sebelum bibirku ini tak sanggup lagi untuk mengucap kata cinta kepadamu, ku titipkan pula secarik kertas ini kepada adikku Hilal, jika ia bertemu denganmu suatu saat nanti. Tapi ku yakin ukhti pasti engkau mencari diriku. Di luar sana, ada seorang pangeran yang menanti dan menunggumu ukhti, mambangunkan ukhti taman surga dunia, membimbing ukhti menuju ridlo sang pemilik takdir, beliau adalah Hilal saudara kembarku. Ukhti, maafkan aku yang belum sempat mengkhitbahmu untuk menjadikan mu bidadari surgaku, tetapi sungguh ukhti lelaki ini mampu membimbing ukhti menuju surga-Nya.
From : Habib
Setelah membaca lembar per lembar dari surat yang diberikan Hilal, bagaikan disambar petir yang menggelegar menyayat hati Syifa. Lelaki yang diharapkan kini telah berbaring selamanya di surga Allah. Lelaki yang selalu didambakan mampu membangunkan taman surga, kini hancur sudah dambaan Syifa. Tubuh Syifa lemas tak berdaya, tiba-tiba Syifa jatuh tak sadarkan diri.
“Syifa bangun sayang, kamu kenapa?”. Teriak ummi dengar histeris takut jika sang permata hati terjadi apa-apa.
“Tenang mi, pasti Syifa bangun”. Balas abah.
Beberapa menit kemudian Syifa membuka mata indahnya. Dengan tetesan airmata, Syifa terus memeluk umminya dengan erat. Tak sanggup jika hati Syifa mengingat Habib lelaki yang pernah di cintainya.
“Ummi, hati Syifa hancur mi hati Syifa menangis mi. Syifa tak punya daya lagi mi untuk hidup”. Ucap Syifa dengan linangan airmata.
“Sayang, sabar mungkin Allah merencanakan yang jauh lebih indah. Yakinlah itu, pasti Habib di sana tersenyum jika melihatmu bahagia di dunia ini”. balas ummi.
“Bagaimana Syifa bisa bahagia dan tersenyum mi, lelaki yang pernah Syifa cintai kini dia tak pernah akan terlihat lagi di pelupuk mataku”. Sanggah Syifa.
“Allah tak menyukai umatnya yang terus bersedih berlebihan, abah tahu betapa hancurnya hatimu, tapi tak baik nak jika terus seperti itu. Kamu harus bangun menyongsong hidup baru. Allah menciptakan pangeran untukmu yang jauh lebih sempurna”. Ucap Abah yang sedari tadi diam melihat permata hatinya tak semangat lagi untuk hidup.
Lima bulan sudah berlalu, kini hidup Syifa tetap sama diliputi rasa yang terus ingin bertemu dengan Habib. Rasa cinta yang tak mampu dapat tersampaikan. Senyum indah yang dahulu terus merekah bak bunga mawar, kini senyum itu hilang seketika dengan kepergian Habib lelaki yang memikat qalbunya. Hari-hari Syifa selalu diiringi dengan tangisan dalam hati lembutnya.
Suatu ketika Hilal berkunjung ke singgasana rumah Syifa yang begitu megah bermaksud untuk mengkhitbah. Dengan hati yang ridlo dan tulus Hilal menginjakkan kaki mungilnya itu menuju istana rumah Syifa.
“Assalamu’alaikum”. Ucap Hilal dari balik pintu.
“Wa’alaikumsalam”. Balas ummi Hanifah
Setelah ummi Hanifah mempersilahkan Hilal untuk duduk di ruang tamu, kini sangatnya lah Hilal mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya, tak lain adalah mengkhitbah Syifa atas amanah sang kakak yaitu Habib. Walaupun tanpa amanah sang saudara kembar entah mengapa Hilal terus terbayang-bayang akan wajah cantik Syifa, walaupun hanya pertama kali bertatapan mata. Tak lupa pula Hilal untuk sholat istikarah meminta petunjuk kepada sang pemilik waktu. Sungguh betapa indah skenario-Nya, Hilal begitu yakin jika Syifa adalah bidadari yang diciptakan Allah untuknya karena bayangan wajah Syifa terus hadir dalam sholat istikarahnya.
“Perkenalkan nama saya Hilal, adik dari Habib tentu ibu sudah mengetahui bukan tentang Habib dan saudara kembarnya. Maaf bu, jika kedatangan saya membuat keluarga ini menjadi bingung. Saya Hilal ingin sekali mengkhitbah permata indah dari keluarga ini, yaitu Syifa. Izinkan aku untuk membangunkan Syifa taman surga menuju ridlo sang pemilik takdir.” Ucap Hilal panjang lebar dengan rasa percaya diri.
Semua keluarga terdiam seketika tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, termasuk Syifa.
“Maaf nak, bukannya kami menolak khitbahanmu tetapi semua itu terserah putri kami. Seperti yang anda ketahui kini Syifa telah kehilangan saudaramu Habib laki-laki yang sangat diharapkan oleh Syifa. Bagaimana mungkin jika kamu ingin mengkhitbah putriku, dengan masa lalu putriku seperti itu, atas dasar apa anda mengkhitbahnya?” ucap abah Syifa panjang lebar.
“Maaf sebelumnya, saya sungguh sangat begitu yakin jika Syifa merupakan bidadari yang Allah hadirkan untuk saya. Dengan amanah Habib yang menyuruhku untuk menjaga Syifa, untuk membangunkan taman surga di dunia ini dan menuntun Syifa menuju ridlo Allah. Tanpa amanah dari Habib pun, insya allah saya yakin jika Syifa memang dihadirkan untuk saya, karena setelah saya melaksanakan sholat istikarah bayangan Syifa terus terlihat dalam sholat indahku”. balas Hilal panjang lebar.
“Akhi, maaf sebelumnya. Aku tak sanggup lagi untuk membuka hati ini untuk orang lain. Sungguh begitu rapuhnya hati yang lemah ini. Afwan, aku terus masih teringat tentang kakakmu Habib. Maaf akhi, jika aku masih bersikap seperti ini. Ku takut jika aku menjadi surga duniamu, ku tak bisa mengabdi sepenuhnya kepadamu karena hatiku yang masih terus mengingat kakakmu”. Sanggah Syifa yang sedari tadi diam tak mengutarakan sepatah katapun.
“Tenang ukhti, aku juga tak minta jawaban ukhti sekarang juga. Sholatlah istikarah terlebih dahulu agar ukhti mampu menjawab semua ini. Ku akan menunggu ukhti sampai hatimu siap menerima aku sebagai pangeran dalam hidupmu”. Ucap Hilal dengan percaya diri.
Satu tahun kemudian.
Begitu terkejutnya hati Syifa mendengar berita di mading yang ada di kampusnya. Yang menjadi pembicara dalam acara seminar nasional pada hari ini yaitu Hilal Abdullah mengenai “Tata Cara Bergaul Anak Muda Zaman Sekarang”.
Acara seminar pun di mulai. Kini Syifa ikut mendaftar sebagai peserta on the spot, karena ingin melihat Hilal sekaligus melihat kemampuan yang ia miliki. Beberapa menit kemudian acara inti dimulai. Hilal begitu sangat berwibawa dan memikat hati para kaum hawa dengan tema yang diangkat menjadikan ia semakin dicintai khusunya kalangan kaum hawa. Hadist yang ia sampaikan begitu pas dan menyentuh hati jika kalam qur’an yang dilantunkan Hilal diucapkan.
Beberapa jam sudah acara selesai. Para peserta terus datang menemui Hilal untuk minta tanda tangannya. Kini Syifa duduk di pojok mengamati Hilal. Setelah beberapa menit berlalu, para peserta sudah mulai meninggalkan acara. Syifa melangkahkan kaki menuju persinggahan Hilal. Hilal terkejut, tak diduga ternyata Syifa ada di dekatnya.
“Assalamu’alaikum akhi Hilal. Nanti akhi bisa datang ke rumah Syifa?”. Ucap Syifa dengan malu-malu.
“Wa’alaikumsalam, insya allah Syifa akhi usahakan datang ke istanamu”. Balas Hilal dengan senyuman yang terus merekah di bibir indahnya.
Malam pun datang. Rembulan terus tersinar menyinari malam hari yang gelap. Seakan-akan rembulan tahu betapa bahagianya hati Hilal sekarang. Karena dihati Hilal yakin, bahwa Syifa akan menerima khitbahannya. Dengan mengendarai mobilnya, kini Hilal menuju istana Syifa. Tak lupa Hilal meminta do’a restu kepada ummi dan abahnya.
“Assalamu’alaikum”. Ucap Hilal.
“Wa’alaikumsalam akhi”. Balas Syifa. Kebetulan Syifa sendiri yang membuka pintu.
Syifa mempersilangkah kan Hilal untuk menginjakkan kakinya menuju ruang tamu. Dengan disambut keluarga besar dari Syifa, menambah gugup hati Hilal dan jantung terus berdetak dengan cepat.
“Nak, apa kabar kamu”. Sapa abah Syifa membuka percakapan untuk mencairkan suasana.
“Alhamdulillah. Saya baik-baik saja bah”. Balas Hilal dengan gugup
Kini Syifa yang membuka suara, mengeluarkan kata-kata indahnya dengan didampingi keluarga besar.
“Akhi Hilal, afwan akhi. Jika akhi menunggu jawaban dari Syifa terlalu lama. Syifa perlu memantapkan hati terlebih dahulu. Syifa perlu sholat istikarah terlebih dahulu meminta petunjuk kepada sang pemilik waktu. Ku ucapkan dengan kata Bismillah aku menerima khitbahan darimu akhi”. Ucap Syifa dengan lantang.
Begitu sangat terkejutnya hati Hilal. Bagaikan denyut nadi yang seketika berhenti mengalir.
“Alhamdulillah, terima kasih ya Robbi, apa yang mendorong ukhti menerima khitbahanku?”. Ucap Hilal dengan hati yang tersenyum.
“Waallahu ‘alam akhi. Selama aku sholat istikarah meminta petunjuk kepada sang pemilik waktu. Bayangan akhi terus terlintas dalam sholat khusukku. Selain itu, kemarin akhi menjadi pembicara untuk seminar nasional, menjadikan hati ini semakin mantap untuk menerimamu sebagai pangeran terindah dalam hidupku . Ku yakin akhi mampu menuntunku menuju ridlo sang pemilik takdir.” Balas Syifa panjang lebar.
Semua keluarga tersenyum mendengar berita indah tersebut. Seperti bulan yang terus tersenyum menyinari malam hari, sepertinya bulan ikut merasakan kebahagian ditengah-tengah keluarga besar tersebut. Setelah satu tahun menunggu kelulusan Syifa, kini Syifa dan Hilal menjadi sepasang merpati dalam dunia yang penuh dengan skenario sang pemilik waktu. Seorang pangeran yang mampu membangunkan taman surga dan dunia. Seorang pangeran yang sangat menawan dan mencuri hati sang permaisuri dengan kelebihan dan kekurangan yang ada dalam dirinya.Seorang pangeran yang diciptakan sang pemilik takdir untukku, untuk menuntunku membangunkan taman surga menuju ridlo-Mu. Skenario yang sangat indah yang begitu memperindah hidup di dunia ini.

***the end***